“Warisan pedalangan yang telah bertahan selama enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya. Calon dalang othok obrol menghadapi godaan berupa gagrak lain yang lebih populer. Meski demikian, upaya pelestarian terus dilakukan. Kami berharap semakin banyak masyarakat mengenal Wayang Othok Obrol dan pelestarian kepada generasi muda berjalan dengan baik,” jelasnya.
Jelas Naniek, wayang Othok Obrol mengacu pada wayang gagrag Kedu yang menjadi dasar rupa wayangnya. “Menurut Ki Makim, wayang itu beda dari yang lain, karena tidak diciptakan dengan laku tatah-sungging manusia. Fisiknya berciri tua dan gemuk, sehingga terkesan ‘cebol’ dan memiliki wajah menunduk. Wayangnya diwarnai dengan pigmen alami, diantaranya dari gerusan tulang, biji gendhulak, jelaga, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut Naniek, lakon Wayang Obrol tidak berat untuk dinikmati, seperti halnya Wayang Purwa. Karena Wayang Othok Obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, dengan lakon-lakon carangan seperti
“Kami bersama Pemerintah Selokromo dan paguyuban JETAYU “Jejeg, Cetha, Rahayu” berusaha nguri-nguri Wayang Othok Obrol, yang diawali dengan ruwat Sukerto, pagelaran wayang, dan larung rikma sukerto,” pungkasnya. ***