Isi Permendikbud No 30 Tahun 2021 Kekerasan Seksual yang Menjadi Kontroversi

15 November 2021, 14:43 WIB
Permendikbud No 30 tahun 2021 PPKS menjadi sorotan. /Pixabay

KABAR WONOSOBO - Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Ristek Nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan kampus tengah menjadi sorotan.

Pasalnya ada isi dari Permendikbud tersebut yang tidak disetujui oleh sejumlah pihak yang menyebut berpotensi membuat kampus sebagai lingkungan membiarkan kebebasan seksual.

Permendikbud ini diteken oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek Nadiem Makarim di tengah merebaknya kasus pelecehan di lingkungan kampus, terbaru terjadi di UNRI.

Baca Juga: Kuasa Hukum LBH Pekanbaru Tanggapi Tuntutan Terduga Pelaku Pelecehan Seksual di UNRI

Berikut adalah inti dari Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 yang tengah ramai di bahas.

Pasal 1 menjabarkan pengertian kekerasan seksual yang disebutkan:

"Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal."

Pada pasal 2 merupakan alasan Permendikbud tersebut dikeluarkan untuk menjadi pedoman dan menjaga martabat kampus.

Baca Juga: Kemajuan Kasus Pelecehan Seksual di UNRI, Sudah Ada Tim Khusus Tapi Belum Menemukan Hasil

Pada Pasal 3 menyebutkan jika pencegahan dan penanganan kekerasan di kampus dilaksanakan dengan prinsip  pada

"kepentingan terbaik bagi Korban; keadilan dan kesetaraan gender; kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; akuntabilitas;  independen; kehati-hatian; konsisten; dan jaminan ketidakberulangan"

Sementara yang menjadi kontroversi berada di Pasal 5 Permendikbud tersebut yang menyoal definisi luas kekerasan seksual yang berbunyi.

Baca Juga: Viral Pengakuan Mahasiswi Unsri Dilecehkan Dosen Saat Bimbingan Skripsi

(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

  1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; 
  2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
  3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
  4. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau  tidak nyaman;

e.mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;

  1. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  2. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; 
  3. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  4. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
  5. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  6. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
  7. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
  8. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan korban;
  9. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  10. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

Sementara yang menjadi kontroversi tentang persetujuan korban pada Pasal 5 (ayat 3) berbunyi:

"Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

  1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
  3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
  4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
  5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; 
  6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau 
  7. mengalami kondisi terguncang."

Baca Juga: Buntut Kasus Pelecehan Seksual Kris Wu dan Alibaba, Atensi Publik atas Gerakan #MeToo di China Meningkat

Demikian pasal dalam Permendikbud No 30 tahun 2021 yang menjadi kontroversi dan dianggap melegalkan seksualitas di area kampus.***

Editor: Arum Novitasari

Sumber: Kemendikbud Ristek

Tags

Terkini

Terpopuler