Mengenal Dugderan, Tradisi Sambut Ramadhan di Kota Semarang

17 Maret 2023, 08:19 WIB
Semarang Jawa Tengah punya tradisi jelang Ramadhan yang menarik, yaitu Dugderan. /dok Humas Pemkot Semarang.

KABAR WONOSOBO - Banyak daerah yang memiliki tradisi khusus guna menyambut bulan suci Ramadhan, seperti di Kota Semarang, Jawa Tengah melalui tradisi Dugderan.

Dugderan merupakan tradisi di Kota Semarang yang ditujukan dalam rangka menandai awal ibadah puasa di bulan Ramadhan dan sudah berlangsung sejak abad ke-19. Tradisi Dugderan juga sudah tercatat sebagai warisan budaya tak benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan nomer registrasi 2016006688.

 Baca Juga: Niat Shalat Tarawih dan Witir Untuk Persiapan Bulan Ramadhan 2023

Perayaan Dugderan biasanya dipusatkan di daerah Simpang Lima, Semarang yang diisi dengan kemeriahan petasan dan kembang api serta penampilan Warak Ngendog yaitu merupakan hewan mitologi rekaan hasil akulturasi tiga etnis yang digambarkan dengan kepala naga (kebudayaan etnis Cina), badan unta (kebudayaan etnis Arab) dan kaki kambing (kebudayaan etnis Jawa).

Warak Ngendog juga ditampilkan sebagai ikon kota khas Semarang melambangkan kerukunan antar etnis yang ada di Semarang

Dikutip oleh Kabar Wonosobo melalui laman resmi Warisan Budaya Kemendikbud, Dugderan pertama kali digelar sekitar tahun 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Dugderan digagas sebagai kegiatan untuk menentukan pertanda awal waktu puasa.

Berbeda dengan saat ini, pada saat itu umat Islam di Semarang pada masa itu belum memiliki keseragaman dalam menentukan awal waktu Ramadhan.

 Baca Juga: Resep Es Pisang Ijo khas Makassar, Ide Jualan Takjil Ramadhan 2023

Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat kemudian memilih pesta rakyat sebagai tradisi guna menengahi terjadinya perbedaan dalam menentukan jatuhnya awal puasa.

Nama "dugderan" sendiri merupakan onomatope dari suara pukulan bedug dan dentuman meriam, sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan.

Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali.

Perpaduan bunyi bedug dan meriam tersebut yang kemudian membuat tradisi tersebut diberi nama "dugderan". Pesta rakyat dugderan juga dihelat dengan menampilkan maskot yang dikenal dengan Warak Ngendog.

 Baca Juga: Peringati HUT Dan Sambut Ramadhan, Persit Gelar Pengajian Dan Doa Bersama

Perayaan dugderan tidak hanya diisi dengan penampilan Warak Ngendok saja, tetapi juga terdapat pasar malam yang menjual aneka barang terutama kebutuhan rumah tangga. Pasar ini hampir mirip dengan pasar yang ada dalam perayaan sekaten di Yogyakarta, bedanya Sekaten di Yogyakarta digelar guna memperingati bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Selain sebagai sarana hiburan, tradisi Dugderan juga digunakan sebagai sarana dakwah Islam.

Pemukulan bedug dalam perayaan dugderan menjadi konsensus sebagai justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan, sehingga menengahi perbedaan antar umat Islam.

Dugderan juga sebagai afirmasi untuk mengokohkan keimanan, bersyukur bisa menyambut datangnya bulan ramadhan dengan suka cita, namun tetap sederhana. Selain itu, tradisi dugderan sebagai edukasi bagi anak-anak untuk melaksakan ibadah puasa.

 Baca Juga: Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadhan Jatuh 23 Maret 2023

Bentuk edukasi lainnya yang terdapat dalam perayaan tersebut dilambangkan dengan Warak Ngendok yang bermakna seseorang haruslah suci, bersih dan memantapkan ketakwaan kepada Allah dalam menjalani puasa.

Setelah sempat vakum selama tiga tahun, 2023 ini Dugderan digelar sejak tanggal 10 Maret 2023 yang lalu dan masih akan berlangsung hingga 21 Maret 2023 mendatang. 

Ikuti Artikel Kami di Google News.***

Editor: Khaerul Amanah

Sumber: warisanbudaya.kemdikbud.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler