SAFEnet Soroti 9 Pasal ‘Karet’ yang Perlu Direvisi, Mencuat Topik Tentang Pemerintahan dan Defamasi

- 20 Februari 2021, 15:30 WIB
 Tangkapan layar Youtube Kanal Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
Tangkapan layar Youtube Kanal Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga /Youtube

KABAR WONOSOBO – Ramai pembahasan terkait UU ITE juga ditanggapi Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom Of Expression Network atau SAFEnet, Damar Juniarto.

Bahkan pada Jumat, 19 Februari juga diadakan diskusi bersama Paguyuban Korban UU ITE yang berlangsung daring.

Dikutip KabarWonosobo dari unggahan akun Instagram @asumsico pada Selasa, 16 Februari 2021 disebutkan Damar bahwa ada 9 pasal, di antaranya pasal yang harus dihapus dan beberapa pasal lain yang harus diperbaiki rumusanya.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Asumsi (@asumsico)

 

Baca Juga: Jika UU ITE Tidak Beri Keadilan Jokowi Akan Minta DPR Revisi, Soroti Adanya Pasal Multitafsir

Damar Juniarto mewakili SAFEnet mencatat beberapa persoalan utama terdapat dalam Pasal 27-29 UU ITE. Menurutnya pasal ini harus dihapus karena termasuk rumusan karet atau 'pasal karet' dan ada duplikasi hukum.

“Selain itu ada juga pasal2 lain yang rawan persoalan atau disalahgunakan dan perlu diperbaiki rumusanya” ungkap Damar dalam postingan Twitternya yang dikutip KabarWonosobo pada Jumat (19/2/2021).

Beberapa pasal lain yang menurut Damar perlu direvisi yaitu Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal itu dinilai Damar bermasalah soal sensor informasi dan memunculkan tafsir hukum karet.

Baca Juga: Temui Teten Masduki, Shopee Sampaikan Dominasi Pedagang Lokal dan UMKM sampai dengan 97 Persen

Di pasal 27 ada beberapa poin penting. Terutama pada Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila yang dinilai rentan sebagai alat untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online dan memunculkan tafsir hukum karet.

Pada Pasal 27 Ayat 3  tentang Defamasi yang menurut Damar bermasalah karena rentan digunakan untuk merepresi legal warga, aktivis, jurnalis atau media. Ayat ini sekaligus dapat merepresi warga yang mengkritik polisi, pemerintah, termasuk Presiden.

Defamasi sendiri merupakan aturan hukum yang berasal dari zaman kolonial. Dari sejarahnya, aturan ini digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menghukum mereka yang menghina Ratu dan pemerintahan kolonial.

Baca Juga: Viral Tenaga Medis Dikeroyok Polisi Thailand Saat Demo, 20 Orang terluka dari 1000 Demonstran Pro Demokrasi

Sedangkan di Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian, dinilai apat menjadi alat untuk merepresi minoritas agama, juga warga yang menyampaikan kritik tentang presiden, polisi, atau pemerintahan.

Berlanjut ke Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan ternyata juga dinilai Damar rentan dipakai untuk memidana orang yang akan melapor ke polisi. Di Pasal 36 tentang Kerugian yang rentan digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Pada pasal 40 ada tiga poin yakni Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Dengan dalih ayat ini seseorang dapat mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan alasan meminimalisir informasi hoax.

Baca Juga: Ini Latar Belakang Demonstrasi Besar-besaran Di Thailand Yang Akibatkan Puluhan Orang Luka dan Masih Berlanjut

Lainnya pada Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini menegaskan peran pemerintah bisa lebih diutamakan ketimbang putusan pengadilan.

Terakhir, Pasal 45 ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan Defamasi. Ayat ini bermasalah karena dimungkinkan dilakukan penahanan saat penyidikan.***

Editor: Erwin Abdillah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah