Ini Latar Belakang Demonstrasi Besar-besaran Di Thailand Yang Akibatkan Puluhan Orang Luka dan Masih Berlanjut

- 18 Februari 2021, 16:30 WIB
Prayuth
Prayuth /Kolase Zonajakarta.com/ANTARA

KABAR WONOSOBO – Dengan beredarnya foto dan video tentang pengeroyokan tenaga medis pada demonstrasi oleh kelompok pro demokrasi di Thailand, masyarakat internasional dan netizen menyoroti stabilitas politik Negara berlambang Gajah itu.

Melihat latar blakang kejadian demonstrasi, bisa dirunut tahun lalu ketika Thailand memang tengah menghadapi ketidakstabilan politik. Warga turun ke jalan dan melakukan demonstrasi menuntut Perdana Menteri Thailand yang tengah menjabat, Prayut Chan-O-Cha mundur dari jabatannya dengan tuduhan praktik korupsi.

Namun hingga hari ini Chan-O-Cha belum juga lengser karena merasa dirinya bersih dari tuduhan yang disangkakan kepadanya. Puncaknya pada 20 Oktober 2020 lalu, demo besar-besaran terjadi.

Baca Juga: Viral Tenaga Medis Dikeroyok Polisi Thailand Saat Demo, 20 Orang terluka dari 1000 Demonstran Pro Demokrasi

Saat kisruh aksi pada Sabtu, 13 Februari 2021 itu sedikitnya 1.000 orang pendemo dipukul mundur oleh pihak militer dengan semprotan air yang dicampur dengan zat kimia. Terselip kejadian pengeroyokan terhadap tenaga medis yang kini viral. Sejak saat itu demo harian tetap terjadi namun dalam skala kecil.

Penyerangan tersebut membuat orang-orang menilik kembali Konvensi Jenewa 1949 yang menyebutkan mengenai siapa saja pihak-pihak yang tidak boleh diserang (non-combatant) ketika konflik atau perang terjadi, salah satunya adalah tenaga medis.

Setelah mendapat kecaman dan tekanan dari berbagai kalangan, pihak kepolisian akhirnya merilis pernyataan yang berbunyi,

“Tentang tenaga medis yang diserang kemarin, investigasi menemukan fakta bahwa mereka bukanlah dokter atau perawat. Namun sekelompok orang ini berasal dari kelompok orang yang menyebabkan gangguan (pendemo) yang diberi tugas untuk merawat orang-orang yang terluka.”

Baca Juga: Ini Informasi Lengkap Seleksi Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta Untuk warga DIY dan Jateng syarat utamanya ini

Sejatinya, sebelum kejadian di hari sabtu tersebut, demo menuntut demokrasi sudah mulai merebak kembali. Bahkan demo-demo yang ada sudah mulai berani menunjukkan penyerangan terhadap raja.

Hal tersebut terlihat dari spanduk-spanduk yang digunakan sebagai alat demonstrasi. Salah satunya spanduk di kawasan perkotaan yang bertuliskan “No God, No King, Only Human” yang  merepresentasikan mulai terbukanya masyarakat kota terhadap kedudukan raja yang terlalu dikultuskan dan dianggap sejajar dengan tuhan.

Selain itu ada juga spanduk yang bertuliskan “Eat, F*ck, Bike” yang dianggap itu saja kegiatan yang dilakukan raja selama ini.

Baca Juga: Simak Perjalanan Karir Daniel Ricciardo yang Mulai Balapan sejak Usia 9 Tahun Hingga Raih 24 Podium di F1

Menariknya, hal tersebut terjadi ditengah ancaman dari pasal 112 yang membatasi orang untuk membicarakan tentang raja, terutama hal-hal yang bersifat merendahkan raja. Pasal ini juga yang selama ini membuat banyak orang yang dianggap ‘vokal’ kemudian menghilang.

Hal tersebut berlawanan dengan prinsip penduduk di daerah yang mana kebanyakan masih menyembah raja. Di kalangan masyarakat di daerah, Raja masih dianggap sebagai entitas yang suci dan harus dijaga martabatnya.

menurut Bangkok Post, masih akan ada gelombang protes para demonstran Pro Demokrasi akan berlanjut Sabtu, 20 Februari 2021 besok.***

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: Bangkok Post


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah