Baca Juga: 225 Atlet Ramaikan Specta Sindoro-Sumbing Triathlon Duathlon 2024, Angkat Sport Tourism Wonosobo
Lebih lanjut menurut Gyovani, permasalahan dimulai ketika notaris LW membuat akta pengakuan hutang dari kliennya kepada PH. Akta pengakuan hutang dibuat dengan nominal sejumlah Rp 1,2 miliar.
Sementara uang tersebut sebenarnya merupakan uang investasi dari PH sendiri, bukan uang pinjaman atau utang piutang.
"Tetapi oleh notaris ini malah dibuatkan akta pengakuan utang. Sehingga seolah-olah klien kami ini berhutang kepada PHS. Padahal seharusnya perjanjian awalnya hanya kerjasama investasi dan bukan hutang piutang," terangnya.
Seiring berjalannya waktu, Sulasih mencoba meminta sertifikat tanah yang sudah diurus balik nama melalui notaris LW. Namun oleh LWR sejumlah sertifikat tanah tersebut ternyata sudah diserahkan kepada PHS sebagai jaminan utang.
"Padahal sertifikat tanah tersebut tidak ada hubungan sama sekali dengan investasi bisnis antara klien kami dengan PH. Sebenarnya klien kami sama notaris LW sudah biasa kerjasama untuk pengurusan balik nama sertifikat tanah," ujarnya.
Atas dasar dua permasalahan tersebut, Sulasih mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada notaris LWR dan PHS di pengadilan. Dengan nominal gugatan yang dilayangkan mencapai Rp 12 miliar.
Giovani menyebut bahwa klien nya hanya ingin kembali mendapatkan haknya yakni berupa lima sertifikat tanah yang saat ini berada di tangan pasutri tersebut yang disebut Sulasih ditahan LW.
"Apa yang dilakukan oleh notaris ini menurut penilaian kami adalah merupakan tindakan yang telah melanggar kode etik profesi notaris. Sehingga kami akan melakukan upaya pengaduan kepada Majelis Pengawas Notaris Daerah Jawa Tengah atas dugaan pelanggaran kode etik yang telah dilakukan oleh notaris LW," tambahnya.