KABAR WONOSOBO - Momen lucu terjadi dalam prosesi pernikahan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep dengan Erina Gudono.
Pada Jumat, 9 Desember 2022, Kaesang Pangarep dan Erina Gudono melangsungkan serangkaian prosesi dari sungkeman, siraman, hingga midodareni.
Usai prosesi siraman yang berlangsung di kediaman Jokowi di Solo dan Kaesang Pangarep melakukan prosesi bernama bopongan, dimana Jokowi harus menggendong putranya tersebut.
Baca Juga: Begini Urutan Ritual Pernikahan Adat Jawa yang Filosofis dan Penuh Makna
Dalam prosesi bopongan tersebut, terjadi momen lucu dimana Jokowi tampak keberatan saat harus menggendong putra bungsunya tersebut.
Momen lucu itupun dibagikan oleh Kaesang di akun Twitter pribadinya @kaesangp. Kaesang membagikan foto Jokowi yang tampak kesulitan saat menggendong Kaesang Pangarep.
Bersama foto lucu tersebut, Kaesang menulis caption yang tak kalah mengundang gelak tawa warganet. “Maaf ya bapak,” tulis Kaesang pada Sabtu, 10 Desember 2022.
Baca Juga: Makna dan Filosofi dari Bleketepe dan Tuwuhan dalam Pernikahan Adat Jawa
Karena kesulitan menggendong bobot tubuh putranya, akhirnya prosesi bopongan hanya dilakukan secara simbolis, dimana Kaesang hanya merangkul sang ayah dari belakang dan berjalan bersama menuju rumah.
Momen lucu yang dibagikan Kaesang mendapat berbagai reaksi lucu dari warganet.
Tak sedikit pula warganet yang bertanya-tanya mengenai makna bopongan yang menjadi salah satu prosesi dalam tradisi pernikahan adat Jawa.
Baca Juga: Lirik dan Makna Lagu 'Desember' Efek Rumah Kaca
Makna dari Prosesi Bopongan dalam pernikahan adat Jawa
Sebelum melaksanakan prosesi bopongan, calon pengantin terlebih dahulu melalui prosesi siraman.
Tidak sembarangan, siraman harus dilakukan menggunakan air yang diambil dari tujuh mata air yang berbeda.
Prosesi siraman dimaksudkan untuk mensucikan calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan.
Baca Juga: Salah Satunya 'Wild Flower', RM BTS Ungkap Makna Mendalam di Album Indigo yang Baru Rilis
Siraman dilakukan oleh orang tua dan kerabat yang biasanya berjumlah ganjil, antara 7, 9, atau 11 orang.
Angka tujuh sebagai jumlah sumber mata air juga memiliki filosofi yang diambil dari kata tujuh dalam bahasa Jawa, yaitu ‘pitu’.
Pitu berarti ‘pitulungan’ atau pertolongan, sehingga diharapkan bahwa setelah menikah, mempelai akan senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Setelah ritual siraman dilakukan, ayah dari mempelai pria maupun wanita akan melaksanakan prosesi bopongan.
Bopongan sendiri diambil dari kata ‘bopong’ yang dalam bahasa Jawa berarti gendong. Ayah dari calon mempelai akan menggendong anaknya menuju kamar.
Prosesi bopongan dalam budaya Jawa memiliki makna yang mendalam, yakni sebagai wujud kasih sayang orang tua, khususnya sang ayah kepada anaknya.
Bopongan menunjukkan besarnya cinta seorang ayah yang selalu membimbing sang anak menuju fase kehidupan baru yang akan dilalui anak, yakni pernikahan.***