Resensi Al Abaraat: Tragedi Kekalahan Umat Islam dan Cinta Keturunan Bani Ahmar di Granada Andalusia

17 Oktober 2021, 14:53 WIB
Istana Alhambra, Granada, Andalusia, Spanyol. /Pixabay.com/dkatana

KABAR WONOSOBO – Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Rintihan Jiwa dengan judul asli Al Abaraat saduran penyair ternama Mustafa Lutfi Al Manfaluthi menyimpan beberapa kisah yang patut dibaca. Salah satunya cerpen berjudul Keturunan Terakhir.

”Coba tunjukkan padaku firman Tuhan dan sabda rasul kalian yang menetapkan hukuman mati sebagai ganjaran yang tepat bagi orang yang tak seiman dan seagama kalian!” Salah satu kalimat dalam cerpen Keturuan Terakhir.

Cerpen ini menceritakan kisah tentang kekalahan umat Islam di Granada, Andalusia yang saat ini dikenal sebagai Spanyol.

Baca Juga: Resensi Buku Soe Hok Gie (Sekali Lagi): Soe Kirim Paket Kutang, Pupur, dan Gincu Ke DPR GR

Cerpen memaparkan jika kekalahan umat Islam bukan karena pasukan Salib yang dikomandoi Ratu Isabela lebih kuat dan memiliki senjata yang modern, namun karena umat Islam mudah terpecah-belah.

Pada part awal diceritakan Abu Abdillah menjadi raja Granada terakhir yang ditaklukan oleh Raja Ferdinan dari Argon dan Ratu Isabella dari Castile yang akhirnya menikah dan menaklukkan kekuasaaan Bani Ahmar pada 1496.

Abu Abdillah harus menyerahkan kekuasaan dan seluruh keturunnnya harus meninggalkan Istana Granada.

Baca Juga: Resensi Buku: Aku, Sjuman Djaya Ceritakan Perjalanan Hidup Chairil Anwar

Abu Abdillah ditemui seorang kakek yang mengatakan pantas jika kekuasaan Bani Ahmar berakhir karena penguasa dan saudara-saudaranya ribut berebut kekuasaan sedangkan tak siap ketika musuh menyerang.

”Musuh hanya berpangkutangan menyaksikan para pemimpin mengobarkan semangat permusuhan pada pasukan masing-masing. Saat kaum muslim bercerai berai, mereka datang menerjang. Satu dua pukulan, semua bertekuk lutut,” ucap si kakek.

Setelah 20 tahun, tertinggal satu keturunan Abu Abdillah yang benama Said. Dia tidak lagi bisa melihat Marj (salah satu bagian dari Istana Merah di Granada yang terkenal indah dan air yang mengalir jernih) dan Jannah al 'Arief (perkebunan besar di Grananda).

Baca Juga: Resensi Novel Populer ‘Magdalena’, Kapal Van Der Wijck Pernah Dituduh Memplagiasinya

Dari Arab Said pun datang ke Andalusia menyamar sebagai dokter, dan berjalan menyusuri pinggiran Istana Granada.

Namun takdir tidak bisa ditebak, Said pun bertemu dengan gadis bercadar berkebangsaan Spanyol bernama Floranda saat Istana Merah terbuka.

Usai pertemuan pertama, keduanya berjanji bertemu dan Floranda yang diketahui seorang Rahib di Gereja mengajak Said menyusuri Istana Merah.

Baca Juga: Buku Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau, Kekuatan Syair Cinta Sastrawan Arab Nizar Qabbani

Rahasia Said yang merupakan seorang keturunan Bani Ahmar yang seharusnya mendapat gelar Putera Mahkota Granada pun terbongkar, namun keduanya justru saling jatuh cinta.

”Bagaimana mungkin engkau mencintai seorang gadis Nasrani yang tidak seagama denganmu?” tanya Floranda kala itu.

”Bisa saja. Karena agama itu bersumber dari keyakinan, berbeda dengan cinta. Pada dirimu kutemukan sifat-sifat yang aku suka. Maka aku pun mencintaimu demi sifat-sifat itu. Tak ada secuil pun yang terkait dengan keyakinanku,” jelas Said.

Baca Juga: Ciri-ciri Buku Bajakan yang Kerap Dijual di Marketplace, Pemicu Kemarahan Tere Liye

Hubungan keduanya diketahui seorang pemuda yang cintanya bertepuk sebelah tangan pada Floranda. Akhirnya Said diseret ke Mahkamah Al Taftisy (Mahkamah yang dididirikan di Spanyol saat bangsa Arab berkuasa) untuk diadili.

Saat itu, Mahkamah memberi pilihan jika Said ingin bersama Floranda dia harus meninggalkan agama dan keyakinannya, kemudian memeluk agama Nasrani. Namun Said menolak,

”Coba tunjukkan padaku firman Tuhan dan sabda rasul kalian yang menetapkan hukuman mati sebagai ganjaran yang tepat bagi orang yang tak seiman dan seagama kalian!” teriak Said saat itu.

Said pun diseret ke tempat hukuman, sebuah tempat untuk memenggal ribuan kepala kaum muslimin. Said pun dieksekusi diiringi teriakan pilu Floranda. Itulah kisah dari keturunan terkahir Bani Ahmar di Granada.

Baca Juga: Sejarah Suku Dayak Kalis, Kenali Suku Asli Kalimantan Barat yang Jarang Diangkat di Buku Sejarah

Mustafa Lutfi Al Manfaluthi dengan gaya bahasanya membawa pembaca hanyut dalam pikirannya.

Makna cerpen ini tidak sekedar menjelaskan runtuhnya Bani Ahmar di Granada Andalusia karena keturunan terakhir di eksekusi.

Namun juga menggambarkan penyebab kekalahan kaum muslim saat itu karena perasaan serakah akan kekuasaan hingga tercerai berai.***

Editor: Arum Novitasari

Tags

Terkini

Terpopuler