Diantaranya yaitu peningkatan mutu hasil belajar dengan kurun waktu 3 tahun, peningkatan kompetensi utamanya kepala sekolah dan guru, serta sekolah mampu mengikuti percepatan digitalisasi.
Percepatan digitalisasi menuai banyak pro dan kontra melihat tidak setiap sekolah memiliki akses dan fasilitas yang memadai.
Program sekolah penggerak tentu saja tidak luput dari kekurangan dan bahan evaluasi bersama.
Beberapa contoh kekurangan Sekolah Penggerak adalah proses sosialisasi tidak begitu digencarkan, proses pengesahan yang cenderung kurang terbuka, bahkan jangkauan sosialisasi hanya pada stakeholder dalam arti masyarakat umum tidak mendapatkan informasi dari program sekolah penggerak tersebut.
Padahal, program semacam ini termasuk menjadi sebuah kebijakan publik dimana masyarakat juga perlu tahu bagaimana keberjalanan sistem pendidikan di Indonesia pada saat ini.
Selain itu profil pelajar Pancasila yang ditransformasikan dalam bentuk modul dinilai belum efektif untuk diimplementasikan pada peserta didik.
Dengan demikian, program sekolah penggerak masih menjadi program yang masih harus disosialisasikan dan diintervensikan dengan masyarakat demi mewujudkan kualitas pendidikan yang unggul khususnya peningkatan sumber daya manusianya.***
(Artikel ini adalah hasil korespondensi Isna Nugraheni, mahasiswi Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta)