Baca Juga: Ziarah ke KRT Setjonegoro di Payaman Magelang, Kenang Pendiri Wonosobo di Momen Hari Jadi 198
Pada saat itu, kerajaan Mataram yang legitimasinya sebagai pelindung agama sekaligus para ulama telah mengalami perpecahan. Syeikh Qutbuddin berlari
mencari persembunyian sekaligus berdakwah dengan tanpa terbebani tekanan, terutama dari pihak Belanda dan juga Pakubuwana III.
Tujuan dari pemberontakan yang dilakukan para ulama adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap VOC (Belanda) yang mereka anggap telah banyak melakukan
intervensi terhadap pihak Keraton.
Bahkan pada saat itu Syaikh Al- Palimbani yang berada di Makkah menulis surat
untuk para ulama yang ada di Tanah Jawa yang mengakibatkan terbunuhnya pembawa surat.
Abdul Qadir alias Qutbuddin melakukan pemberontakan di wilayah Semarang Barat tempat mereka tinggal. Keberhasilan Qutbuddin melakukan perlawan tidak lepas dari dukungan para elit Keraton seperti halnya Hamengkubuwono I.
Akan tetapi, putra-putrinya terbunuh oleh prajurit Pakubuwana III. Abdul Qadir sendiri menghilang dan sembunyi di pegunungan Dieng (Wonosobo).
Baik oleh VOC maupun oleh prajurit Pakubuwan III tidak dapat diketahui tempat persembunyiannya, kecuali oleh para muridmuridnya yang tersebar di sekitar Ungaran dan Batang yang menamakan dirinya Tholabuddin, merekalah yang mengetahui makamnya di Desa Candirejo Wonosobo.
Saat ini, komplek makam Syeikh Quthbuddin telah dipugar sejak era bupati Kholiq Arief dan keberadaannya dikenal luas hingga ke berbagai wilayah. Keunikan makam itu adalah letaknya yang cukup jauh dari desa Candirejo juga adanya bebatuan yang disebut bekas candi yang ada di sekitar makam tersebut.***