KABAR WONOSOBO – Permainan gundu atau kelereng merupakan permainan tradisional yang biasa dimainkan anak laki-laki, meski tak jarang perempuan juga memainkannya.
Dulu, banyak dari anak laki-laki yang mengoleksi kelereng hingga satu kaleng biskuit dengan berbagai macam motif dan ukuran.
Permainan dengan benda bulat kecil dari kaca atau marmer ini memiliki beberapa nama di setiap daerah.
Buat masyarakat Betawi menyebutnya "gundu", anak-anak Sunda menyebut permainan ini dengan "kaleci".
Sementara orang Jawa banyak yang menyebutnya dengan nama "dir" atau "setin", kemudian di Palembang dikenal dengan nama "ekar".
Untuk penyebutan bangsa Eropa juga ada tersendiri seperti Belanda mengenal permainan gundu dengan nama "knikker".
Sementara di Prancis, anak-anak yang telah memainkannya sejak abad ke-12 menyebutnya dengan "bille" yang berarti bola kecil.
Sebutan knikker juga terkadang di pakai anak-anak di Inggris selain mereka menyebutnya dengan nama "marbles".
Marbles sendiri digunakan untuk menyebut kelereng yang terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman.
Baca Juga: Honjok, Seni Hidup Sendiri dari Korea yang Dianggap Penyebab Munculnya Fenomena Lonely Death
Teknologi pembuatan kelereng kaca sendiri memang ditemukan di Jerman pada tahun 1864 dan segera menyebar ke seluruh Eropa.
Jauh pada peradaban Mesir kuno, sekitar tahun 3000 SM kelereng terbuat dari batu atau tanah liat.
Pada masa Romawi, permainan kelereng juga sudah dimainkan secara luas bahkan menjadi salah satu bagian dari festival Saturnalia yang diadakan saat menjelang perayaan Natal.
Saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan.
Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM yang ditemukan di kereta pada situs “Minoan of Petsofa”.
Untuk cara memainkannya, biasanya dengan menggambar lingkaran dan menaruh kelereng yang akan dilombakan.
Baca Juga: Tak Banyak yang Tahu, Permainan Tradisional Bakiak yang Melatih Koordinasi Berasal dari Daerah Ini
Setelah itu, secara bergantian pemain akan menyentilkan kelereng mereka ke kelereng lawan yang ada di dalam lingkaran.
Jika setelah menyentil kelereng yang ada di dalam sampai ke luar lingkaran, kelereng tersebut akan menjadi miliknya.
Anak-anak yang memainkan permainan tradisional ini akan mampu untuk mengembangkan saraf motoriknya.
Selain itu mereka juga dilatih untuk bersikap jujur, melatih kesabaran, melatih kemampuan berpikir, dan juga melatih interaksi sosial dengan lainnya.***