KABAR WONOSOBO – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan penghentian penyaluran senjata ke Myanmar.
Melalui seruan resolusi PBB, militer Myanmar disarankan untuk segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan mengakhiri pembatasan diri di internet maupun media sosial.
Hal itu disampaikan oleh PBB pada Jumat, 18 Juni 2021 kemarin dan mendesak militer Myanmar untuk membebaskan para tahanan politik termasuk pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Pernyataan dari Majelis Umum PBB tersebut merupakan adopsi resolusi dari 119 negara terhadap militer Myanmar yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari.
Sementara 36 negara lainnya termasuk Rusia dan China abstain atau tidak memberikan suara terhadap permasalahan kudeta yang terjadi di Myanmar.
Beberapa negara yang abstain mengatakan jika resolusi itu tidak akan membantu dan krisis tersebut adalah masalah internal bagi Myanmar.
Beberapa negara juga mengeluhkan jika resolusi itu tidak akan cukup untuk mengatasi penderitaan Muslim Rohingya setelah tindakan kekerasan militer yang memaksa hampir satu juta orang melarikan diri dari Myanmar.
Sementara utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener mengatakan jika masalah waktu yang semakin sempit menjadi sangat penting untuk mengembalikan pengambilalihan oleh pihak militer.
Ia juga mengungkapkan akan adanya dampak yang mengerikan jika kudeta itu tidak segera dihentikan.
“Resiko perang saudara skala besar adalah nyata,” ungkap Christine seperti dikutip Kabar Wonosobo dari Reuters.
Olof Skoog, Duta Besar Uni Eropa untuk PBB juga menambahkan resolusi PBB melalui pesan yang tegas.
“Ini ketidakabsahan (yang dilakukan oleh) junta militer, (mereka melakukan) penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri dan menunjukkan keterasingannya di mata dunia,” kata Olof Skoog.
Sementara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berpendapat bahwa kudeta militer tidak bisa dan tidak diterima untuk dijadikan sebagai norma hidup di dunia ini.
Namun pihak militer Myanmar yang melakukan kudeta beralasan untuk mengatasi apa yang dianggapnya sebagai penipuan dalam pemilu November lalu.
Sedangkan para politisi dunia mengatakan jika pemungutan suara itu adil untuk dijalankan dalam pemilu tersebut.***