KABAR WONOSOBO― Napas Mayat merupakan novel karangan Bagus Dwi Hananto, pemenang ketiga Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2014.
Kisah ‘Aku’ dan perjalanan hidupnya tidak hanya seputar pembalasan dendam dan kilas balik hidupnya di masa muda.
Kisah Aku bersama Sarah, Mama Besar, dan Marbun merupakan gambaran dari dua sisi manusia. Hitam dan putih. Keduanya digambarkan layaknya realita yang selalu berjalan beriringan.
Napas Mayat menyajikan kisah yang brutal di awal, dan menyayat hati begitu sampai di akhir kalimat. Dimulai dari Si Aku yang benar-benar terlena dengan harta milik bapaknya, tidak mau bekerja, dan pikirannya cuma menjurus ke arah seks.
Namun, banyak orang seperti itu, bukan? Dunia tidak sebersih yang dipikirkan. Dunia ini menyimpan banyak sekali sisi.
Hitam dan putih bertebaran di mana-mana. Bahkan seringkali tersamarkan. Hal yang direpresentasikan oleh tokoh Aku.
Penulis cocok sekali menggunakan sudut pandang orang pertama, Aku. Seperti tengah menggiring pembaca, bahwa ia sedang tidak merasakan kisah hidup orang lain, melainkan diri sendiri.
Tentu saja dalam hal yang berbeda, tapi jika diresapi lebih dalam lagi selalu ada kesamaan pola.
Anggaplah si Aku ini memang adalah pembaca itu sendiri. Kita sama, menyimpan luka, dihina, diremehkan hanya karena fisik, dan menyimpan dendam serta keinginan untuk mati saja, tetapi sebenarnya jauh di dalam lubuk hati, takut.
Takut bahwa kematian juga sama tidak menyenangkannya dengan hidup.
Baca Juga: Sinopsis Laut Bercerita Karya Leila S Chudori, Kisah Pilu Biru Laut yang Rekam Masa Kelam Orba
“Manusia senang mencari kebahagiaan dan selalu berdosa; tiba-tiba menjadi takut kepada Tuhan dan kadang melupakannya untuk dosa gembira yang memuaskan mereka.” Sebuah kutipan yang kembali menyajikan realita keadaan manusia.
Tidak disarankan untuk membaca sambil-lalu, karena mungkin ada beberapa poin penting yang dilewatkan. Novel ini tipis, hanya sekitar 185 halaman saja.
Namun, kisah yang disuguhkan lebih dari cukup untuk membuat pembaca tersadar, perihal hubungan makhluk dengan Tuhan-nya, juga dengan alam.
Alam di sini maksudnya adalah kehidupan itu sendiri. Manusia yang lain, hewan, takdir, dan banyak hal lain.
Sinopsis Napas Mayat, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama 2015
Aku memotongnya dengan sangat rapi, membuang lemak yang tidak dipakai sehingga hanya tersisa beberapa potong daging besar saja dari kaki, dada, dan tangan. Semua jeroan dari bagian bawah sampai jantung kujadikan satu.
Kupotong-potong dan kutambah bumbu dapur dan berbagai sayur mulai dari wortel, kol, buncis, dan kesukaanku kacang polong; menjadi sup mangkuk besar, siap buat disantap. Berporsi-porsi mangkuk aku ciduk dari panci sup. Berkali-kali sampai lenyap di telan mulut.
Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan
Novel ini menceritakan tentang tokoh bernama Aku. Ia digambarkan sebagai pria yang sehari-hari bekerja di sebuah pabrik yang memilah-milah kertas. Ia miskin, walaupun di masa muda merupakan anak konglomerat.
Kehidupannya dulu bergelimang harta, sombong, penuh kasih sayang, dan bisa mendapatkan apapun. Intinya dia merasa bahwa orang-orang di sekelilingnya merupakan ‘hamba’ dan ia adalah ‘tuhan’.
Namun, setelah ayahnya bangkrut -sedangkan dirinya malas bekerja dan hanya menghambur-hamburkan uang- hidupnya berubah.
Baca Juga: Memaknai Cinta Tak Biasa lewat Kisah Asmara Raras dan Galih dalam Novel Ratih Kumala, Tabula Rasa
Terjungkil balik hingga harus dijauhi orang-orang yang mengatasnamakan diri teman, dihina karena fisiknya berubah menjadi jelek dan botak, juga miskin. Karena itu, ia memiliki dendam terhadap orang-orang itu.
Dendam yang akhirnya membuat si Aku membunuh, memutilasi, dan memakan dua korbannya, yaitu Mama Besar dan Marbun. Juga seorang korban lagi yang ia makan jantungnya saja, si Pria Peselingkuh.
Mama Besar adalah seorang wanita bermulut cerewet yang selalu menghinanya, ia membunuh wanita itu.
Baca Juga: Arti Cinta dan Kasih Sayang dari 3 Kisah Romantis Sinopsis Film Love Actually 2003 - Bagian 2
Marbun adalah temannya yang hanya membuat kesalahan menghinanya sekali. Lalu terakhir, si Pria Peselingkuh, suami Sarah yang ia bunuh atas permintaan dari Sarah sendiri.
Padahal, Sarah merupakan atasannya di kantor, juga wanita yang selalu mendatanginya untuk melakukan seks.
Si Aku mengajarkan bagaimana hidup itu tidak melulu tentang harta, jabatan, kekuasaan. Si Hitam mengajarkan bahwa ia akan selalu ada di dalam diri setiap makhluk, ia ada dan dapat dikalahkan oleh hati nurani.
Baca Juga: Sinopssis Film Mariposa, Pahit Manis Ambisi Remaja Mengejar Cinta di Masa SMA
Korban-korban si Aku, Marbun, Mama Besar, dan si Pria Peselingkuh, seperti bilang bahwa hati-hati dengan segala perbuatan, kita tidak pernah tahu siapa sesungguhnya yang kita hina, rendahkan, dan remehkan. Siapa tahu kita hanya kucing yang sedang merendahkan harimau.
Selain itu, banyak sekali kalimat-kalimat satire yang ditunjukkan melalui kisah Aku. Terutama ketika ia mulai mengkritisi keadaan kota dan penghuninya.
“Kota A dimiliki penguasa yang menang dengan cara membagi stiker nomor dirinya dan wakilnya plus uang tiga puluh ribu rupiah untuk memegang tampuk kekuasaan selama lima tahun. Oleh sebab itulah, proyek abadi perbaikan jalan beraspal selalu dilakukan setiap tahun sekali,” kutipan di narasi Aku.
Kalimat di atas nampak seperti sindiran keras yang dilayangkan ketika masa pemilu tiba. Bagaimana wakil-wakil orang terhormat berusaha untuk menarik simpati rakyat dengan melakukan beragam cara.
Menjanjikan banyak hal, padahal yang mereka inginkan hanyalah terus memupuk kekayaan diri sendiri.
“Para penjahat bahkan merambah ke dunia politik. Tapi yang aneh penjahat-penjahat itu, di negeri ini, mereka bebas melenggang. Di depan tivi mereka tersenyum, melambaikan tangan meskipun sudah tertangkap basah mencuri uang rakyat. Mereka tidak dihukum mati sepertimu, Pak. Inilah negeri bodoh yang buta dan pura-pura baik.”
Baca Juga: Buku Irfan Afifi Saya, Jawa, dan Islam Terlahir Hasil dari Proses Lelaku Mengenali Diri dan Sejarah
Profil Singkat Bagus Dwi Hananto
Bagus Dwi Hananto, lahir di Kudus, 31 Agustus 1992. Buku puisinya yang telah terbit Fantasme Jendela (2014). Sembari menjalani hari-hari sebagai mahasiswa sebuah universitas, ia terus membaca dan mengasah tulisannya. Saat ini ia menetap di Desa Mlati Lor.***