Dua tokoh tersebut menjadi Point of View di cerita ini, sehingga ‘rasa’ yang ditimbulkan ketika membaca kisah keduanya juga lebih mengena.
Meskipun pada awalnya masih agak kurang ‘sreg’ karena setting yang digunakan, entah itu waktu dan tempat, sering berubah-ubah. Dari Jerman ke Jogja, ke Jakarta.
Terlebih, di tahun yang berbeda pula. Namun, kesabaran untuk menemukan inti dari Tabula Rasa ternyata tidak sia-sia. Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca.
Bagaimana penggambaran Raras yang kemudian memilih untuk tetap mempertahankan kata hatinya, menjadi seorang lesbian dan meninggalkan Galih, sejujurnya memang adil.
Pendapat mengenai ‘manusia normal’ pada dasarnya tidak memiliki andil apapun untuk kehidupan seseorang. Keteguhan Raras untuk memilih ‘hidupnya’ patut diacungi jempol.
Sedangkan Galih, ia juga sebenarnya agak kurang pas bila menjadikan Raras hanya sebagai ‘pengobat’ di kala Krasnaya sedang tidak teringat.
Karena, diceritakan bahwa Galih masih terus merindukan sosok Krasnaya. Hal itu, tentu tidak akan adil bila Galih-Raras tetap berhubungan. Galih yang tidak akan sepenuhnya mencintai Raras karena masih mencintai Krasnaya.
Lalu, Raras yang tidak akan sepenuhnya mencintai Galih karena ia memang tidak memiliki perasaan yang lebih.