Pramoedya Ananta Toer, Penulis Nasionalis yang Sengaja Dikubur Orde Baru, Kini Jadi Kiblat Penulis Muda

- 16 April 2021, 21:43 WIB
Foto Pramoedya Ananta Toer dari tangkapan layar laman  sastra.perpusnas.go.id
Foto Pramoedya Ananta Toer dari tangkapan layar laman sastra.perpusnas.go.id /sastra.perpusnas.go.id

 

 

KABAR WONOSOBO― Pada bulan Oktober 1965, dua minggu selepas kegagalan kudeta Partai Komunis Indonesia yang lantas memunculkan rezim Seoharto, Pramoedya Ananta Toer ditangkap dalam rangka pembersihan kaum nasionalis kiri.

Permohonan penulis yang akrab disapa Pram agar perpustakaannya diselamatkan, tidak dihiraukan. Ia juga harus kehilangan buku-bukunya yang dibakar dan rumahnya pun turut disita.

Setelah ditahan di Pulau Nusakambangan, Pram kemudian dibawa ke Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik. Di Pulau Buru, Pram diasingkan tanpa pengadilan.

Baca Juga: Buku Irfan Afifi Saya, Jawa, dan Islam Terlahir Hasil dari Proses Lelaku Mengenali Diri dan Sejarah

Seoharto terbukti gagal membungkam Pram selama 14 tahun masa penahanan. Menjadi satu dari sekian tahanan politik di Pulau Buru, justru memberikan waktu kepada Pram untuk menyelesaikan tetralogi yang kini dikenal seluruh dunia dengan Tetralogi Buru dengan buku pembuka Bumi Manusia.

Pada awalnya, Bumi Manusia hanya Pram ceritakan secara lisan kepada sesama tahanan. Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca―dua buku terakhir ditulis setelah pelonggaran kebijakan dalam penjara― melengkapi Tetralogi Buru.

“Apakah mungkin, mengambil dari seorang pria atas haknya untuk berbicara pada diri sendiri?” ungkap Pram.

Baca Juga: Sinopsis Novel Amba Karangan Laksmi Pamuntjak Sajikan Roman hingga Nilai Moralitas dan Sejarah Bangsa

Buku tersebut menceritakan perjuangan Indonesia yang melawan kolonialisme Belanda melalui Minke, seorang aristokrat Jawa yang bergabung dengan gerakan nasional.

Kebencian Soeharto pada Pram tercermin tidak hanya dengan menjebloskannya ke Pulau Buru, tetapi juga melarang peredaran Tetralogi Buru.

Penguasa yang akhirnya tumbang di tahun 1998 tersebut turut merekayasa pemecatan diplomat Australia, Max Lane, yang telah menerjemahkan dua bab pertama ke dalam bahasa Inggris.

Baca Juga: Menyelami Realitas Eka Kurniawan Lewat Kumpulan Cerpen Corat-coret di Toilet, 13 Kisah Penuh Simbol dan Kritik

Tumbangnya Seoharto membuat Pram dan Tetralogi Buru perlahan mulai terbebas dan bisa dibaca khalayak. Karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa, meskipun di Indonesia sendiri masih dilarang.

Pram lahir di Blora, Jawa Tengah. Putra pertama dari seorang kepala sekolah dan aktivis lokal. Nama terakhirnya sebenarnya adalah ‘Mastoer’, tetapi ia menghilangkan kata ‘Mas’ karena merupakan gelar terendah dari kalangan bangsawan Jawa. Sekaligus karena ‘Mas’ terdengar terlalu aristokrat.

Pram tidak menggantinya bahkan setelah 40 tahun kemudian dirinya tahu makna ‘Toer’ berarti ‘kotoran’ dalam bahasa Polandia.

Baca Juga: Sinopsis Laut Bercerita Karya Leila S Chudori, Kisah Pilu Biru Laut yang Rekam Masa Kelam Orba

Penulis ‘Gadis Pantai’ tersebut menamatkan Sekolah Kejuruan Radio pada tahun 1942 di Surabaya, ketika invasi Jepang.

Seperti nasionalis Indonesia lainnya, Pram turut bekerja untuk Jepang yakni di kantor berita Jepang ‘Domei’.

Pram mantap menjadi nasionalis selepas Jepang berubah makin brutal dan keras. Selepas perang, bersamaan dengan Belanda yang berusaha kembali mengambil alih, Pram bergabung dengan gerakan perlawanan.

Baca Juga: Memaknai Cinta Tak Biasa lewat Kisah Asmara Raras dan Galih dalam Novel Ratih Kumala, Tabula Rasa

Ia ditahan pada tahun 1947. Di tahun yang sama, novel Perburuan ditulis.

Pembebasan terjadi pada 1949 dengan ditariknya Belanda. Pram menghabiskan tahun 1950-an untuk berkelana, pertama ke Belanda, lalu ke Uni Soviet kemudian ke China.

Hasilnya, Pram dinilai menjadi lebih ‘kiri’ dan terkesan ‘anti-Jawa’ dalam setiap tulisannya, termasuk di surat-surat kabar.

Baca Juga: Sisi Lain Manusia dan Kemanusiaan Dibedah Bagus Dwi Hananto dalam Novel Napas Mayat

Pram menjadi editor untuk bagian koran sayap-kiri dan mengajar jurnalistik di sekolah di Jakarta.

Pada 1960 ia terlibat berdebatan dengan pemerintahan Presiden Soekarno yang membuatnya dipenjara sembilan bulan lamanya. Menyusul lima tahun kemudian, kudeta lebih besar terjadi dan Pram kembali masuk bui.

Penderitaan Pram selama di Pulau Buru akhirnya terungkap dengan dibuatnya autobiografi Pram berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu atau ‘The Mute’s Soliloquy’ dalam bahasa Inggris pada 1999.

Baca Juga: Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala, Kisahkan Perjalanan Mengupas Rahasia Miliarder Industri Rokok Kretek

Banyak insiden yang ditulis di atas kertas hasil seludupan pendeta Katolik yang simpatik padanya.

Kebanyakan dari tahanan, termasuk Pram, dipindahkan dari Pulau Buru pada 1979, tapi Pram hanya dibebaskan lantaran lobi dari banyak diplomat asing.

Ia bertahan di Jakarta sampai 1992 dan menolak meninggalkan Indonesia sampai Seoharto dilengserkan, karena takut akan diblokir untuk kembali.

Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan

Transisi Indonesia untuk mencapai demokrasi tidak mengurangi semangatnya untuk membela yang tertindas dan menghukum mereka yang berkuasa, atau yang sering disebut Pram sebagai ‘badut’.

Dalam beberapa tahun, pandangan Pram yang dinilai tak bisa dikompromi dan kontradiktif tidak disukai oleh beberapa sastrawan muda Indonesia.

Meskipun begitu, sebagian dari yang tidak setuju itu sering menyamakan Pram dengan sosok penulis Rusia yang bernasib sama dengan Pram, Alexandre Solzhenitsyn. 

Baca Juga: Perjalanan Sarat Wewangian Jati Wesi dan Tanaya Suma dalam Sinopsis Novel Aroma Karsa, Karya Dewi Lestari

Pram mendapat banyak penghargaan dari institusi internasional. Meskipun sering dinominasikan, Pram belum pernah menerima penghargaan Nobel untuk sastra.

Meski Pram mampu bertahan dari rezim diktaktor dan hukuman, akhirnya kalah melawan penyakit paru-paru.

Pram hidup dengan istri keduanya, Maemunah, yang telah memberinya lima orang anak. Ia memiliki tiga orang anak dari pernikahan pertama, 16 cucu, serta tiga cicit.

Baca Juga: Diskriminasi Pada Perempuan Diangkat di Novel Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982, Karangan Cho Nam Joo

Pramoedya Ananta Toer, penulis dan kritikus sosial yang lahir pada 6 Februari 1925, meninggal pada 30 April 2006.

Pram, kakak Soesilo Toer, meninggalkan lebih dari 50 karya fenomenal tentang apa yang terjadi di Indonesia. Sosoknya yang lantang menyuarakan perjuangan dan pembelaaan para kaum tertindas, menjadi kiblat banyak penulis muda dalam berkarya.*** 

 

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: theguardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah