KABAR WONOSOBO – Pakar Hak Asasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingatkan kemungkinan terjadinya kematian massal akibat kelaparan dan penyakit di Myanmar.
Hal tersebut diungkapkannya setelah sekitar 100.000 orang melarikan diri meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Kayah.
Mereka berusaha melarikan diri untuk menghindari serangan brutal dan membabi buta dari pihak militer yang melakukan kudeta.
Dampak pemboman dan tembakan artileri membuat para warga kini sangat membutuhkan makanan, air, tempat tinggal, dan akses perawatan kesehatan.
Krisis ini dapat memungkinkan orang-orang di wilayah Kayah Timur untuk menerobos perbatasan internasional untuk mencari keselamatan.
Kekerasan di Myanmar ini membuat para warga sipil mengungsi ke tempat lebih aman bahkan mereka mencari keselamatan dengan masuk ke dalam hutan-hutan.
Untuk itu, PBB menyerukan untuk segera mengambil langkah-langkah dan tindakan pencegahan untuk melindungi para warga Myanmar.
Tom Andrews, seorang pelopor khusus PBB untuk Myanmar menyerukan sebuah pernyataan pada Rabu, 9 Juni 2021.
Ia menyerukan tindakan internasional dengan mengatakan serangan oleh militer di negara bagian Kayah atau Karenni dapat mengancam nyawa ribuan orang baik pria, wanita dan anak-anak.
Baca Juga: UNDP Sebut Pandemi dan Kudeta Mengancam Separuh Rakyat Myanmar Jatuh Dalam Kemiskinan Pada 2022
Negara-negara anggota PBB juga menyerukan kepada pemimpin junta Min Aung Hlaing untuk mengizinkan akses bantuan penyelamat dan menghentikan kekerasan.
Namun sejauh ini, pihak militer Myanmar seolah mengabaikan kritikan internasional dan tetap menerapkan program lima poin.
Program lima poin itu disampaikan oleh Wunna Maung Lwin, menteri luar negeri Myanmar saat pertemuan ASEAN dengan beralasan bahwa program tersebut adalah satu-satunya cara untuk memastikan sistem demokrasi yang disiplin dan murni.
Semenjak Februari lalu, Myanmar berada dalam kekacauan pengambilalihan militer yang menyebabkan protes di seluruh negeri.
Bentrokan dan pertempuran antara militer dengan kelompok etnis minoritas sering terjadi terutama di daerah perbatasan .
Berdasarkan laporan dari sebuah organisasi yang menyoroti hak asasi manusia, pasukan militer telah menewaskan sedikitnya 849 orang dan menahan 5.800 orang sejak kudeta.
Militer Myanmar telah melancarkan serangan udara dan melakukan penembakan di daerah sipil tanpa pandang bulu.
Pasukan militer juga telah berulang kali menyerang gereja-gereja di daerah yang mayoritasnya beragama Kristen.
Hingga puncaknya pada 21 Mei kemarin pertempuran pecah setelah adanya perlawanan kelompok sipil yang menyebut dirinya sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat Karenni (KPDF).***