PBB Kritik 20 Negara yang Masih Membiarkan Pemerkosa Menikahi Korbannya Sendiri, Termasuk Rusia dan Thailand

- 17 April 2021, 23:28 WIB
Makam Amina Filali, gadis Maroko bunuh diri karena menolak menikah dengan pelaku pemerkosanya. dari tangkapan layar kanal youtube AP Archive
Makam Amina Filali, gadis Maroko bunuh diri karena menolak menikah dengan pelaku pemerkosanya. dari tangkapan layar kanal youtube AP Archive /youtube.com/ AP Archive

 

KABAR WONOSOBO― Menurut data PBB, ada 20 negara yang sampai saat ini masih membiarkan pemerkosa untuk menikahi korbannya sebagai jalan keluar.

Dalam daftar 20 negara itu, Rusia, Thailand, dan Venezuela berada dari sejumlah negara yang mengizinkan laki-laki pemerkosa untuk menikahi perempuan yang menjadi korbannya.

Dikutip KabarWonosobo.com dari The Guardian, Excecutive director dari UN Population Fund (UNFPA), Dr. Natalia Kane juga mempublikasikan laporan tersebut pada Rabu 14 April 2021lalu.

Baca Juga: Kawal Sidang Kasus Pencabulan Oknum Guru, Aliansi Masyarakat Anti Pelecehan Seksual Tuntut Hukuman Maksimal

Dr. Natalia Kane menyebut bahwa hal tersebut sangat salah dan sebuah bentuk untuk penindasan pada wanita.

Menikahi korban, ucap Dr. Natalia Kane, merupakan sebuah tindakan kriminal. Pengingkaran hak harusnya tidak dilindungi oleh undang-undang.

Hukum “marry your rapist” mengalihkan beban rasa bersalah kepada korban dan membersihkan situasi untuk pelaku.

Baca Juga: Mantan Pacar Jung Joon Young Berani Buka Suara soal Kejahatan Seksual, Beberkan Alasan Batalkan Gugatan

Dima Dabbous, direktur Equality Now’s Middle East and Africa yang penelitiannya dikutip oleh UNFPA mengatakan bahwa undang-undang tersebut mewujudkan budaya.

“Mereka tidak berpikir bahwa perempuan memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan mereka bagian berharga di keluarga,” ungkap Dima Dabbous.

Undang-undang yang membolehkan pelaku perkosaan “Menikahi Korban” merupakan pendekatan kesukuan dan kuno atas seksualitas dan kerhormatan yang disalahartikan.

Baca Juga: Heboh, Seseorang Mengaku Korban Bullying dan Pelecehan Seksual Semasa Sekolah, Ji Soo Klarifikasi di IG

Lebih lanjut, Dabbous turut mengatakan bahwa sangat sulit untuk mengubah hukum tersebut. Namun, masih ada harapan bahwa ada kemungkinan hukum “menyiksa korban” tersebut berubah.

Maroko sendiri telah mencabut undang-undang tersebut selepas seorang korban, yang merupakan gadis muda, memutuskan untuk bunuh diri karena hal tersebut. Korban tersebut menolak untuk dinikahi pemerkosanya.

Diikuti pula oleh Yordania, Palestina, Lebanon, dan Tunisia.

Baca Juga: Kawal Sidang Kasus Pencabulan Oknum Guru, Aliansi Masyarakat Anti Pelecehan Seksual Tuntut Hukuman Maksimal

Sementara itu, Kuwait masih mempertahankan hukum kuno tersebut. Mengizinkan para pelaku untuk menikahi korbannya sendiri atas izin wali.

Rusia menempatkan hukum yang lebih gila lagi, jika pelaku berusia 18 tahun dan korban berusia 16 tahun, ia terbebas dari hukuman jika menikahi korban.

Di Thailand, pernikahan dapat dianggap untuk menyelesaikan permasalah tersebut disebabkan oleh pelaku berusia 18 tahun dan korban berada di atas 15 tahun. Namun, dengan alasan jika korban “setuju” dan jika pengadilan memberikan izin.

 

“Fakta bahwa hampir separuh wanita tidak dapat memutuskan apakah mereka akan melakukan sex, menggunakan kontrasepsi, atau mencari perawatan kesehatan, seharusnya membuat kita marah,” kata Kanem.

Baca Juga: Ini Runtutan Kejadian Kekerasan TKA terhadap Pekerja Lokal Subang, Berujung Sanksi Tegas Hingga Deportasi

Intinya, ratusan dan bahkan jutaan perempuan dan para gadis tidak memiliki tubuhnya sendiri. Mereka hidup untuk pemerintah dan untuk lainnya.

Lebih dari 30 negara membatasi kebebeasan kaum perempuan di luar rumah. Sementara mereka yang termasuk dalam kaum disabilitas, tiga kali lipat lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dengan perempuan yang memiliki risiko terbesar.

Pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk mengajarkan masyarakat mengenai otonomi tubuh mereka. Undang-undang tersebut juga seharusnya berubah.

Baca Juga: Kekerasan Anti-Asia di Amerika Meningkat Sepanjang Pandemi, Anehnya Para Pelaku Didominasi Korban Rasisme

Ditambah norma-norma sosial yang harusnya lebih berimbang untuk semua gender. Juga fasilita kesehatan memainkan peran penting di situasi kritis ini.

Penolakan otonomi tubuh merupakan pelanggaran hak asasi perempuan. Hal tersebut memperkuat ketidaksetaraan dan melanggengkan kekerasan yang timbul karena diskriminasi antar-gender.***

 

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: theguardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x