Bejana tersebut berisi alas berupa serpihan kayu, alfalfa atau jerami yang ideal bagi pertumbuhan mikroba.
Akhir dari proses tersebut akan menghasilkan tanah padat nutrisi yang setara dengan 36 kantong tanah yang kemudian digunakan sebagai pupuk.
“Setiap hal yang dapat kita lakukan untuk menjauhkan orang dari lapisan beton dan peti mati mewah serta pembalseman, kita harus melakukan dan mendukungnya,” ungkap Michelle Menter, manajer Cagar Alam Pemakaman Greensprings di pusat New York dikutip Kabar Wonosobo dari The Guardian.
Sebelum melegalisasi komposting jenazah manusia, Hochul sempat dihadapkan pada pro kontra dari masyarakat.
Melalui Konferensi Katolik Negara Bagian New York, pengikut gereja sempat meminta Hochul untuk tidak meneken RUU tersebut.
Komunitas Katolik menganggap bahwa proses komposting tidak memberikan rasa hormat terhadap tubuh manusia.
“Proses yang sangat tepat untuk mengembalikan potongan sayuran ke bumi belum tentu sesuai untuk tubuh manusia,” kata Dennis Poust, direktur eksekutif organisasi Katolik.
Di sisi lain, para pendukung Order of the Good Death mengirimkan serangkaian kartu dekoratif bertuliskan "Komposkan Saya" dan "Saya Ingin Menjadi Pohon" kepada Hochul sebagai bentuk dukungan legalisasi kebijakan komposting jenazah.