Mitos Bukit Petarangan di Menjer Garung, Pernah Jadi Tempat Minta Hujan Saat Wonosobo Kekeringan

7 September 2023, 21:35 WIB
Puncak bukit petarangan saat Ziarah makam Mbah Kyai Nur Iman di Bukit Petarangan Menjer kecamatan Garung Wonosobo, ketika Suran 2023. /Kabar Wonosobo/ Erwin Abdillah

KABAR WONOSOBO - Konon di tahun 1950-an ada masa ketika musim kemarau dan wilayah Wonosobo dilanda kekeringan parah. Hingga akhirnya penduduk dari berbagai tempat berkumpul ke suatu tempat untuk mengikuti salat meminta hujan atau shalat Istisqa. Bukit itu dinamai Bukit Petarangan, seperti nama tempat menetasnya telur ayam.

Tempat itu tidak jauh dari kawasan telaga Menjer di kecamatan Garung dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki kurang dari 30 menit. Obyek Wisata telaga Menjer adalah salah satu tempat yang kerap dikunjungi wisatawan luar daerah. 

Di Telaga menjer, wisatawan bisa menikmati pemandangan telaga sambil menaiki perahu kayu maupun menikmati kuliner khas setempat yang berupa olahan baby fish, alias uceng atau ikan kecil khas Menjer.

Terkait peristiwa di masa lalu, menurut Kepala desa setempat, Slamet Raharjo peristiwa kekeringan itu masih banyak diingat para tetua desa dan kerap diceritakan pada anak cucunya.

Baca Juga: Lokasi Desa Legetang 5 km dari Candi Dieng, Benarkah Satu Dusun Lenyap dalam Semalam karena Maksiat?

Kini, warga desa Menjer, Maron, Tlogo, dan sekitar kawasan telaga Menjer masih menggelar ritual tahunan saat bulan Suro atau awal bulan Muharram dengan syukuran atau selametan dan pengajian serta doa dan makan bersama di bukit tersebut.

“Soal kekeringan di masa itu, kakek saya pernah bercerita, dulu saat kekeringan, jika rumput di bawah sana dibakar, api akan sampai ke puncak bukit ini dalam sekejap saja karena saking keringnya waktu itu,” Katanya mengingat kisah itu.

Diceritakan juga bahwa saat peristiwa meminta hujan itu, warga naik ke atas bukit sambil menyeret ternak mereka seperti kambing, kerbau, dan sapi.

Ajaibnya, tak lama setelah shalat dan doa selesai dipanjatkan dan warga sudah berjalan kembali menuju rumah mereka, hujan segera turun dengan deras. Kemudian setelah itu, kondisi mereka kembali seperti semula, air di telaga juga mulai terisi.

Baca Juga: Atasi Tekanan Darah Rendah Dengan Beberapa Tips Ini, Hindari Mitos yang Membahayakan Tubuh

Berjarak 70 tahun lebih sejak peristiwa kekeringan itu, warga Menjer hingga kini masih menggelar doa dan makan bersama di puncak bukit saat momen Suran atau awal bulan Suro dan terakhir pada bulan Agustus 2023 lalu.

Di puncak bukit ada tanah lapang dengan sisa-sisa pondasi tanah yang menjulang sekitar satu meter seperti pagar pembatas. Konon pondasi itu dulunya merupakan bagian bawah dari sebuah bangunan besar di atas bukit.

Beberapa warga dan tetua adat, menyebut kawasan itu dengan nama Depok, yang merupakan singkatan dari padepokan, selain juga disebut Bukit Wetan. Saat ini, nama yang tertulis di administrasi desa adalah bukit Petarangan.

Baca Juga: Sejarah Singkat Kabupaten Wonosobo, Peran Kyai Karim, Kyai Kolodete dan Kyai Walik Babat Alas

Untuk sampai ke puncak bukit Petarangan, pengunjung bisa naik kendaraan bermotor roda empat atau dua dan memarkir kendaraan di kawasan wisata menjer dan berjalan melewati pos wisata Bukit Cinta di bagian bawah. Atau jalur lainnya yakni melewati desa Menjer dari sisi kanan jalan utama menuju curug Sikarim.

Pengunjung bisa berjalan sekitar 1,5 kilometer menyusuri ladang warga yang sudah dibuatkan akses berupa tangga beton dengan gazeboo di beberapa sudut untuk istirahat.

Dalam waktu 20 menit, pengunnjung sudah sampai ke lereng bukit yang dipagari tanaman teh, kopi, dan sayuran. Banyak warga yang meladang di sekitar bukit itu.

Ketika momentum perayaan Suran, diperkirakan ada 1.000 lebih warga yang mengikuti acara doa dan duduk melingkari sajian berupa ingkung ayam, nasi (nasi megana, nasi kuning dan nasi gurih), tempe dan tahu bacem, dilengkapi tumisan sayur.

Baca Juga: Review 'Aroma Karsa' Dee Lestari: Petualangan Jati Wesi dan Tanaya Suma Ungkap Misteri Gunung Lawu

Acara itu layaknya suasana piknik keluarga namun pesertanya mengenakan sarung, baju, koko dan peci. Sedangkan para ibu berbusana muslim menggendong keranjang untuk memuat sajian yang dimakan bersama warga lain.

Warga mengelilingi sumber suara yang ada di tengah-tengah dan tak jauh dari petilasan atau makam Mbah Kyai Nur Iman, seorang tokoh yang berjasa menyebarkan ajaran Islam di masa lampau. Tak jauh dari petilasan itu, ada pohon beringin besar yang menaungi bukit itu.

Ada juga mitos yang menyebut bahwa berapapun jumlah warga yang naik ke bukit Petarangan, tetap akan muat ditampung. Meskipun dari kejauhan, bukit itu nampak kecil dan puncaknya terlihat sempit.

Banyak dikisahkan juga, di era perjuangan melawan Belanda pada tahun 1700 hinga 1.800-an (atau di perang Diponegoro), Petarangan dipercaya pernah menjadi tempat untuk bertemu tokoh-tokoh penting seperti para calon raja dan para orang penting. Selain juga dipercaya sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit hebat di masa itu.

Baca Juga: Pemkab Wonosobo Ziarahi Makam Pendiri dan Ulama, Sarana Refleksi di Momen Hari Jadi

Bukit itu ada di ketinggian 1.400 mdpl dan pengunjung bisa menikmati pemandangan langsung telaga Menjer yang dikelilingi jajaran gunung seperti Bismo dan Pakuwojo, juga Gunung Sindoro. ***

Editor: Erwin Abdillah

Tags

Terkini

Terpopuler