Ritual Wiwit Methik Sata, Potret Harmoni Kerukunan Umat Beragama di Reco Wonosobo

11 Desember 2023, 11:47 WIB
Ritual Wiwit Methik Sata, awal panen tembakau di dusun Anggruggondok, desa Reco kecamatan Kertek Wonosobo digelar tiap tahun. /Kabar Wonosobo/ Erwin Abdillah

KABAR WONOSOBO – Daun Tembakau di dusun Anggrunggondok punya derajat lebih tinggi dari daun-daun lainnya. Mengingat Dusun yang ada di desa Reco kecamatan Kertek, kabupaten Wonosobo itu “hidup” dari daun berharga mahal yang dipanen sekali dalam setahun.

Meski belum masuk masa panen, aroma wangi tembakau kering masih bisa dihirup di setiap rumah yang menyuguhkan tembakau lintingan bagi para tamu. Tak jarang, di sudut ruang tamu, kita bisa melihat Cacak dan Gobang, alat rajang tembakau berupa meja dengan lubang vertikal dan pisau besar.

Desa Reco yang berada di Lereng Gunung Sindoro, sudah  dikenal sebagai penghasil tembakau sejak era kolonial Belanda. Gaya arsitektur era kolonia masih terlihat jelas di rumah-rumah warga yang menuntun pengunjung ke Masjid Besar di kiri jalan utama, menuju basecamp pendakian Sindoro di kanan jalan dan menuju Goa Maria Taro Anggro di arah kiri.

Tidak begitu jauh dari basecamp pendakian, di dusun Purwosari ada sebuah Pura Bernama Purwa Sangga Buana yang dulunya dipimpin mbah Trisno Dwijo, Pemuka Hindu yang Dinobatkan sebagai salah satu dari Sapta (7) Rsi di pulau Jawa.

Baca Juga: Klenteng Hok Hoo Bio Rumah Ibadah 3 Agama, Potret Kerukunan Beragama Wonosobo Sejak 1950

Momen yang merangkup keberagaman dan kerukunan umat beragama di musim tembakau di Reco adalah di awal masa panen yang biasanya jatuh di akhir bulan Juli atau awal Agustus. Sepekan sebelum masa panen dimulai, warga Reco sudah memulai persiapan mulai dari membersihkan peralatan untuk menjemur tembakau yang telah dirajang.

Mengawali panen tembakau, dulunya wajib digelar sebuah ritual kuno, bernama Wiwit Methik Sata atau mengawinkan tembakau di lahan masing-masing warga. Upacara itu diisi pengucapan mantra atau doa untuk meminta izin sekaligus mengharapkan kelancaran memanen tembakau.

Diungkapkan Mbah Tito, tetua adat Desa Reco, di usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, menjadi salah satu pemimpin ritual yang masih menghafal urutan upacara, mantra, hingga syarat, seperti sesajen yang harus dipenuhi.

Dikisahkan oleh Mbah Tito, wiwit methik sata masih banyak dilaksanakan oleh masing-masing keluarga atau rumah hingga awal 1990-an. Namun, karena pelaksanaannya membutuhkan biaya pada akhirnya dilaksanakan secara bersama-sama satu dusun atau beberapa keluarga.

Baca Juga: Kemenag Wonosobo Jalin Relasi dengan Insan Pers lewat Sapa Media, Angkat Moderasi Beragama dan Keberagaman

Ritual Wiwit Methik Sata di Reco Kabar Wonosobo/ Erwin Abdillah

“Di Anggrunggondok ini cukup unik, dalam satu rumah atau satu keluarga saja, agama yang dipeluk bisa lebih dari satu. Misalnya ayahnya Katolik, anaknya bisa saja Muslim atau Kristen, atau bahkan Hindu maupun Buddha. Jadi dalam satu KK bisa berbeda agamanya dan itu biasa terjadi di sini. Apalagi antar tetangga, dalam satu dusun, punya berbagai keyakinan, namun selalu kompak dalam berbagai ritual tahunan desa,” tuturnya.

Dulunya, wiwit methik sata diadakan oleh para petani di ladang masing-masing karena umumnya, tiap keluarga memiliki lahan yang sangat luas, berbeda dengan kini yang luasan lahan makin sempit.

“Untuk doa saat ritual juga disesuaikan dengan agama yang dipeluk masing-masing keluarga, pada dasarnya untuk meminta panen yang lancar dan ungkapan terimakasih atas hasil tembakau di tahun tersebut,” katanya.

Potret yang menarik dan jadi gambaran harmoni kerukunan umat beragama di Reco juga terlihat saat persiapan sesajen lengkap yang harus disiapkan dalam upacara mengawinkan daun tembakau itu.

Baca Juga: FKUB Jateng Angkat Budaya dan Tradisi Wilayah Untuk Moderasi Beragama, Gelar Sarasehan di Wonosobo

Ada tujuh jenis ingkung dan tujuh jenis bucu ‘tumpeng’ dan lauk kelengkapannya. Tujuh ingkung harus dibuat dari ayam dengan bulu yang berbeda warna. Misalnya saja, ayam berbulu hitam, putih, kuning, merah, atau blirik. Tujuh jenis bucu juga harus memiliki berbagai warna dan bahan, seperti bucu dari nasi biasa, beras merah, beras hitam, nasi kuning, megana, tulak ‘nasi dengan dua warna’, dan kendit atau nasi dengan warna hitam di tengahnya.

Para ibu biasanya bersama-sama menyiapkan golong ‘besar’ dan giling, dengan ukuran lebih kecil. Juga, bubur abang putih. Kelengkapan lainnya adalah jajan pasar dengan syarat harus ada jajan pasar dengan rasa manis, asin, gurih, hingga asam. Jajan pasar biasanya disesuaikan dengan apa yang ada saat itu, seperti jadah, pepesan utri ‘serundeng gula’, pasung ‘kue mangkok yang dibungkus dengan basung’, apam, aneka jenang, cucur, serta bacem tempe dan tahu.

Agenda itu biasanya dilaksanakan di hari baik yang sudah ditentukan oleh tiap keluarga masing-masing sesuai dengan letak lahan atau perhitungan hari masing-masing keluarga secara turun-temurun. Beberapa keluarga memilih hari Jumat Kliwon.

Baca Juga: Kerukunan Umat Beragama di Wonosobo Telah Terbangun Harmonis, Diminta Terus Dijaga Bersama

Saat ritual, warga mengenakan busana khas Jawa kuno seperti surjan, jarit, dan belangkon khas Yogyakarta. Pada hari pelaksanaan, sesajen dari dapur warga kemudian dikirab menuju lahan yang terpilih menjadi tempat ritual.

Di lahan tembakau, Mbah Tito bersama beberapa tetua desa melakukan pemasangan bundel atau tali dari kain selendang yang bernama Bundel Sangga Buana dan Oman Ketan Ireng. Bundel yang dipasang pada empat penjuru mata angin itu diawali dari arah wetan lor ‘timur laut’. Pemasangan bundel dilakukan dengan cara memutar.

Upacara utamanya adalah menikahkan dua pengantin tembakau yang ada di Tengah-tengah bundel itu. Mantra diucapkan sebagai wujud permohonan izin pada yang Mahakuasa dan ibu pertiwi atau alam. Warga percaya bahwa menanam apapun harus ada tanah, ada tanaman, dan ada yang memelihara atau menjaga sampai hingga waktu panen. Pemilik lahan dan keluarganya juga diminta berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Baca Juga: Toleransi Beragama Terjaga Apik, Wonosobo Dapat Pujian Selangit

“Lahan ini kita bundel dengan Sangga Buwana. Jika ada orang yang berbuat jahat, tolaklah,” begitu bunyi salah satu mantranya. Usai dibundel, pemilik lahan ikut memutari sambil membaca mantra yang sama di seluruh arah mata angin sampai bertemu titik awal tadi atau yang disebut dengan temu gelang.

Usai dipetik, dua manten itu dibawa ke titik tengah lahan dan, kemudian, digenapkan bundel kelima tepat di pusat empat bundel tadi. Sesajen utama untuk manten tembakau diletakkan di tanah beserta kemenyan yang tingginya hampir satu meter dinyalakan.

Dipercayai oleh masyarakat Reco, tanaman tembakau mempunyai nyawa dan pelindung. Untuk memanen tembakau, misalnya, para petani perlu memotong batang tembakau, yang diibaratkan mematahkan lengan atau melukai makhluk hidup yang bisa saja merasa kesakitan.

Usai ritual di lahan selesai, seluruh sesajen dibawa ke rumah pemilik lahan. Warga berkumpul di sana, duduk bersila mengikuti ritual doa yang dipimpin oleh Mbah Tito. Tidak lupa, 14 daun yang diambil dari lahan ditaruh di atas pintu rumah.

Baca Juga: Mengenal Komunitas GUSDURian Wonosobo, Upaya Abadikan Gagasan Gus Dur dan Ajak Kaum Muda Pahami Keberagaman

Pada ritual wiwit methik sata, selain warga dan pemilik lahan, diundang juga pemuka agama, perangkat desa, perangkat desa, juga dari perwakilan penghayat kepercayaan, budayawan, serta tamu.

Seluruh undangan dan tamu juga mengenakan pakaian adat Jawa dan mengikuti alur ritual. Dengan harapan bisa menceritakan kembali kepada masyarakat luas yang mungkin sudah mulai melupakan ritual itu.

Selain menjadi momen penting memulai panen tembakau, ritual itu disebut mbah Tito sebagai pengingat yang memberikan pengetahuan yang mendalam tentang budaya menanam dan makan masyarakat pada era kuno.

Mengingat, syarat sesajen mengharuskan berbagai jenis ayam, beras, minuman, masakan, jajan pasar, hingga buah lokal. Singkatnya, ritual itu merekam peradaban lampau dengan lengkap, baik dari sisi budaya, sistem kepercayaan, interaksi manusia dengan alam, bahasa tutur, hingga harmoni kerukunan umat beragama di desa Reco sejak sebelum era kemerdekaan.***

Editor: Erwin Abdillah

Tags

Terkini

Terpopuler