Ketika momentum perayaan Suran, diperkirakan ada 1.000 lebih warga yang mengikuti acara doa dan duduk melingkari sajian berupa ingkung ayam, nasi (nasi megana, nasi kuning dan nasi gurih), tempe dan tahu bacem, dilengkapi tumisan sayur.
Baca Juga: Review 'Aroma Karsa' Dee Lestari: Petualangan Jati Wesi dan Tanaya Suma Ungkap Misteri Gunung Lawu
Acara itu layaknya suasana piknik keluarga namun pesertanya mengenakan sarung, baju, koko dan peci. Sedangkan para ibu berbusana muslim menggendong keranjang untuk memuat sajian yang dimakan bersama warga lain.
Warga mengelilingi sumber suara yang ada di tengah-tengah dan tak jauh dari petilasan atau makam Mbah Kyai Nur Iman, seorang tokoh yang berjasa menyebarkan ajaran Islam di masa lampau. Tak jauh dari petilasan itu, ada pohon beringin besar yang menaungi bukit itu.
Ada juga mitos yang menyebut bahwa berapapun jumlah warga yang naik ke bukit Petarangan, tetap akan muat ditampung. Meskipun dari kejauhan, bukit itu nampak kecil dan puncaknya terlihat sempit.
Banyak dikisahkan juga, di era perjuangan melawan Belanda pada tahun 1700 hinga 1.800-an (atau di perang Diponegoro), Petarangan dipercaya pernah menjadi tempat untuk bertemu tokoh-tokoh penting seperti para calon raja dan para orang penting. Selain juga dipercaya sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit hebat di masa itu.
Baca Juga: Pemkab Wonosobo Ziarahi Makam Pendiri dan Ulama, Sarana Refleksi di Momen Hari Jadi
Bukit itu ada di ketinggian 1.400 mdpl dan pengunjung bisa menikmati pemandangan langsung telaga Menjer yang dikelilingi jajaran gunung seperti Bismo dan Pakuwojo, juga Gunung Sindoro. ***