Dima Dabbous, direktur Equality Now’s Middle East and Africa yang penelitiannya dikutip oleh UNFPA mengatakan bahwa undang-undang tersebut mewujudkan budaya.
“Mereka tidak berpikir bahwa perempuan memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan mereka bagian berharga di keluarga,” ungkap Dima Dabbous.
Undang-undang yang membolehkan pelaku perkosaan “Menikahi Korban” merupakan pendekatan kesukuan dan kuno atas seksualitas dan kerhormatan yang disalahartikan.
Lebih lanjut, Dabbous turut mengatakan bahwa sangat sulit untuk mengubah hukum tersebut. Namun, masih ada harapan bahwa ada kemungkinan hukum “menyiksa korban” tersebut berubah.
Maroko sendiri telah mencabut undang-undang tersebut selepas seorang korban, yang merupakan gadis muda, memutuskan untuk bunuh diri karena hal tersebut. Korban tersebut menolak untuk dinikahi pemerkosanya.
Diikuti pula oleh Yordania, Palestina, Lebanon, dan Tunisia.
Sementara itu, Kuwait masih mempertahankan hukum kuno tersebut. Mengizinkan para pelaku untuk menikahi korbannya sendiri atas izin wali.
Rusia menempatkan hukum yang lebih gila lagi, jika pelaku berusia 18 tahun dan korban berusia 16 tahun, ia terbebas dari hukuman jika menikahi korban.