Di Thailand, pernikahan dapat dianggap untuk menyelesaikan permasalah tersebut disebabkan oleh pelaku berusia 18 tahun dan korban berada di atas 15 tahun. Namun, dengan alasan jika korban “setuju” dan jika pengadilan memberikan izin.
“Fakta bahwa hampir separuh wanita tidak dapat memutuskan apakah mereka akan melakukan sex, menggunakan kontrasepsi, atau mencari perawatan kesehatan, seharusnya membuat kita marah,” kata Kanem.
Intinya, ratusan dan bahkan jutaan perempuan dan para gadis tidak memiliki tubuhnya sendiri. Mereka hidup untuk pemerintah dan untuk lainnya.
Lebih dari 30 negara membatasi kebebeasan kaum perempuan di luar rumah. Sementara mereka yang termasuk dalam kaum disabilitas, tiga kali lipat lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dengan perempuan yang memiliki risiko terbesar.
Pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk mengajarkan masyarakat mengenai otonomi tubuh mereka. Undang-undang tersebut juga seharusnya berubah.
Ditambah norma-norma sosial yang harusnya lebih berimbang untuk semua gender. Juga fasilita kesehatan memainkan peran penting di situasi kritis ini.
Penolakan otonomi tubuh merupakan pelanggaran hak asasi perempuan. Hal tersebut memperkuat ketidaksetaraan dan melanggengkan kekerasan yang timbul karena diskriminasi antar-gender.***