Miris! Korban Kekerasan Seksual di Indonesia Sering Berubah Jadi Pelaku karena Relasi Kuasa. Apa Itu?

16 November 2021, 22:12 WIB
Ilustrasi kekerasan berbasis gender yang sering ubah korban jadi pelaku, diambil dari laman Freepik /Freepik

KABAR WONOSOBO Berubahnya status korban menjadi tersangka atas kasus pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI) berhasil memancing sisi gelap risiko pelaporan kejadian serupa.

Korban yang diduga dilecehkan oleh dosennya tersebut kini berstatus tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik.

Arby Algazi, Sekretaris Umum HopeHelps Network, kelompok advokat untuk kasus kekerasan seksual di kampus-kampus juga turut merespon mengenai fenomena tersebut.

 Baca Juga: Isi Permendikbud No 30 Tahun 2021 Kekerasan Seksual yang Menjadi Kontroversi

“Ada relasi kuasa yang bermain dari kekerasan seksual yang terjadi,” ungkap perwakilan HopeHelps Network seperti dilansir oleh Kabar Wonosobo melalui siaran Mata Najwa.

Relasi kuasa sendiri dapat diartikan sebagai suatu sifat hierarkis yang menggambarkan posisi antarindividu dalam suatu kelompok atau tanpa kelompok.

Posisi yang dimaksud sendiri yaitu status lebih rendah atau tinggi.

Baca Juga: Kuasa Hukum LBH Pekanbaru Tanggapi Tuntutan Terduga Pelaku Pelecehan Seksual di UNRI

Hal tersebut dapat disebabkan karena status sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan, dan atau ekonomi.

Relasi kuasa yang disepakati secara tidak langsung di dalam suatu kelompok atau tanpa kelompok tersebut berpotensi disalahgunakan.

Kasus mahasiswi UNRI misalnya, HopeHelps Network menilai bahwa pelaporan yang dilakukan terduga pelaku merupakan bagian dari relasi kuasa yang terjadi.

 Baca Juga: Kemajuan Kasus Pelecehan Seksual di UNRI, Sudah Ada Tim Khusus Tapi Belum Menemukan Hasil

“Ada kasus yang sama, di mana korban melaporkan kasusnya, kampus sudah kooperatif dan organisasi kemahasiswaan, namun karena ketiadaan administrasi akhirnya itu dijadikan celah oleh pelaku dan menggugat korban,” sambung Arby.

Selain relasi kuasa yang berpotensi disalahgunakan lantaran korban “hanya” mahasiswi dan terduga pelaku merupakan dosen, kasus pelecehan seksual juga masih belum dapat diatasi lantaran ketidakpastian hukum.

HopeHelps Network yang merupakan sebuah kelompok advokat dengan kampus atau universitas sebagai tujuan utama juga turut menyayangkan adanya ketidakpastian hukum.

 Baca Juga: Kemajuan Kasus Pelecehan Seksual di UNRI, Sudah Ada Tim Khusus Tapi Belum Menemukan Hasil

Lebih lanjut, Arby menjelaskan bahwa kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan kampus biasa diatasi menggunakan SOP, peraturan rektor, atau kode etik.

HopeHelps Network sendiri menilai sumber hukum yang tidak sesuai tersebut sama sekali tidak mengakomodasi laporan kasus.

“Menurut kami, permendikbud menjadi angin segar bagi kami,” pungkasnya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Menyebar, Nadiem Makarim: Pemerintah Tidak Boleh Duduk Diam Saja

Permendikbud yang dimaksud Arby sendiri merupakan Permen PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual).

Permen PPKS sendiri baru disahkan oleh Kemdikbud pada 30 Agustus 2021 lalu dengan fungsi utama sebagai payung hukum bagi kasus kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi.***

 

Editor: Agung Setio Nugroho

Sumber: YouTube

Tags

Terkini

Terpopuler