Takarir foto:
KABAR WONOSOBO ― Novel Dwilogi karya Ayu Utami bertajuk Saman dan Larung memang sudah dikenal luas oleh pembaca. Terutama bagi mereka yang menyukai tulisan sastra wangi.
Ayu Utami memang dikenal sebagai pionir sastra wangi di Indonesia. Sastra wangi adalah sebutan yang ditunjukkan kepada karya sastra dari seorang penulis perempuan yang mengangkat isu feminisme dalam karyanya.
Dua buku Ayu Utami, yaitu Saman dan Larung berada di antara sekian banyak jenis karya sastra wangi di Indonesia.
Buku pertama, Saman merupakan buku yang dipilih oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai jawara kompetisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 silam. Di saat gejolak politik negeri ini sedang panas-panasnya.
Saman adalah novel pertama dari dwilogi Saman-Larung. Bercerita tentang empat perempuan, Yasmin, Shakuntala, Laila, dan Cok. Juga seorang tokoh yang menjadi poros buku pertama ini, Saman.
Saman adalah mantan pastor yang berubah menjadi aktivis. Ia dikenal sebagai seorang lelaki yang baik budinya dan seringkali mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan orang lain.
Baca Juga: Sinopsis Laut Bercerita Karya Leila S Chudori, Kisah Pilu Biru Laut yang Rekam Masa Kelam Orba
Novel ‘Saman’ tidak hanya menceritakan tentang bagaimana perjalanan Saman membela sekelompok petani yang diceritakan dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka kepada pemerintah.
Ada banyak aspek yang dibahas Ayu Utami melalui tokoh Saman dan keempat tokoh perempuan lainnya.
Tentang ketuhanan, politik, seks, cinta, orangtua, dan konflik pribadi yang diceritakan tanpa ‘tedeng aling-aling’. Begitu lugu, begitu bebas, begitu memikat.
Ayu Utami bercerita banyak hal dari sudut pandang tokoh perempuan. Seperti bagaimana Yasmin memandang kehidupan asmaranya dengan sang suami dan juga dengan Saman.
Atau bagaimana Shakuntala menghadapi dirinya sendiri, Cok yang dikenal binal dan ceplas-ceplos, dan bagaimana Laila berkompromi dengan menjadi sosok perempuan yang jatuh cinta pada dua lelaki sekaligus.
Saman tidak hanya menceritakan tentang kisah asmara masing-masing tokoh.
Baca Juga: Memaknai Cinta Tak Biasa lewat Kisah Asmara Raras dan Galih dalam Novel Ratih Kumala, Tabula Rasa
Sesuai dengan latar yang digunakan, ada banyak sindiran mengenai tindakan keji pemerintah yang dilakukan di penghujung Orde Baru tersebut.
Saman bergerak melindungi warga yang dipaksa untuk melepaskan tanah perkebunan mereka untuk perusahaan yang disetir pemerintah.
Pertemuannya dengan Upi dan keluarganya. Gadis yang memiliki kelainan dan membutuhkan penanganan khusus, tetapi karena tidak adanya dana yang memadai, Upi terpaksa diperlakukan seperti hewan.
Masalah kesenjangan antara rakyat kecil dengan para penguasa juga turut dibahas melalui Saman, dan juga Yasmin yang diceritakan sebagai seorang pengacara.
“Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum atau aparat.”
Kalimat di atas diambil dari salah satu halaman novel Saman, seperti tengah menyuguhkan bagaimana ‘tragedi’ politik di negeri ini terjadi di masa terakhir Seoharto berkuasa.
Baca Juga: Sinopsis Film Labuan Hati, Persahabatan 3 Wanita berawal dari Kecintaan pada Laut
Ayu Utami dengan cara berceritanya yang ‘lincah’ dan ‘tanpa aturan’ berhasil mengangkat isu-isu krusial di tahun pelik tersebut. Tidak heran, Saman yang berani mendobrak dunia sastra terpilih sebagai jawara Dewan Kesenian Jakarta 1998 lalu.
Kisah Saman berlanjut kepada buku kedua dari dwilogi tersebut, Larung.
Larung memiliki cerita yang tak kalah kompleks. Melalui Larung, Ayu Utami juga turut memberikan kesan mistis dan ‘gelap’.
Baca Juga: Inilah Sinopsis Stand By Me Doraemon 2 yang Ternyata Ada Kaitan dengan Grandma's Memories
Membaca Larung berarti akan bersiap-siap untuk mengetahui kisah kelam Larung yang diceritakan sebagai bocah biasa-biasa saja. Namun, satu keinginan Larung yang paling menonjol adalah, ia ingin membunuh neneknya sendiri, Adjani.
Larung turut menggunakan dua latar sejarah kelam Indonesia, PKI 1965 dan Orde Baru 1998.
Kengerian yang disajikan oleh buku kedua dwilogi Saman-Larung jelas lebih terasa dibanding di buku pertama.
Baca Juga: Buku Irfan Afifi Saya, Jawa, dan Islam Terlahir Hasil dari Proses Lelaku Mengenali Diri dan Sejarah
Begitu membuka lembar pertama, pembaca akan disuguhi dengan tata cara Larung ‘memusnahkan’ Adjani yang dirasa telah hidup terlalu lama.
Pembaca seolah dibawa ke dalam dunia keluarga Larung yang seperti ‘menunggu kapan ajal akan menjemput Adjani, kalau bisa secepatnya’.
Sisi kelam sejarah Indonesia juga diangkat dengan begitu apik, lugas, dan menyeramkan. Saman juga kembali dimunculkan bersama dengna Yasmin, Cok, Shakuntala, dan Laila.
Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan
Ayu Utami turut membawa Larung dalam proses pencarian jati diri yang berliku. Selepas selesai dengan ‘memusnahkan neneknya yang tidak lagi layak untuk hidup’, hidup Larung masihlah berjalan.
Tidak hanya proses pencarian jati diri, ada kengerian yang disajikan di sini, tentang ilmu hitam, sejarah pekat Indonesia, dan roman antar tokoh-tokohnya yang memang begitu ‘licik’ untuk tidak dirunut penceritaannya.
Tentang bagaimana adegan demi adegan akan selalu dapat memikat siapapun yang membaca.
Baca Juga: Diskriminasi Pada Perempuan Diangkat di Novel Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982, Karangan Cho Nam Joo
“Luar biasa, sahutku, saya baru tahu Indonesia punya presiden. Saya bahkan baru tahu bahwa Indonesia adalah negara.”
Larung turut memberitahu pembaca bahwa akhir dari sebuah cerita tidak melulu bahagia seperti yang disajikan dalam beberapa naskah roman.
Biografi singkat Ayu Utami
Justina Ayu Utami atau yang lebih dikenal sebagai Ayu Utami, merupakan novelis pionir sastra wangi di Indonesia. Ia lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968.
Baca Juga: Sisi Lain Manusia dan Kemanusiaan Dibedah Bagus Dwi Hananto dalam Novel Napas Mayat
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).
Ayu pernah bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis.
Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana.
Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.***