Termasuk di dalamnya apa yang masing-masing personal rasakan mengenai tubuh dan ekspresi gender lainnya, seperti cara berpakaian, cara berbicara, dan cara bersikap.
Mayoritas orang Indonesia hanya percaya bahwa gender dan orientasi seksual setiap orang hanya ada dua, laki-laki dan perempuan, serta maskulin dan feminin. Tanpa melihat adanya orientasi dan jenis gender yang lain.
Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan
Heteroseksual dianggap sebagai orientasi seksual ‘normal’, sedangkan homoseksual dan biseksual tidak pernah diterima.
Karena itu, serangan terhadap komunitas LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, terjadi secara besar-besaran, terutama di media.
Menurut budaya, masyarakat Indonesia sendiri telah mengakui keberagaman seksual dan gender sebagai bagian dari hidup sehari-hari.
Negeri ini kaya akan sejarah tentang konsep pandangan terhadap gender lain, bahkan homoseksual dan transgender. Kenyataan tersebut kontradiktif dengan adanya tanggapan bahwa ‘gender menyimpang’ tersebut dibawa oleh budaya Barat.
Saat ini, mayoritas masyarakat masih mengakui bahwa homoseksualitas dan transgender merupakan produk dari budaya Barat. Sementara di sisi lain, budaya Indonesia sendiri sudah ‘mengonsumsi’ perbedaan gender tersebut sebelum kolonialisme sampai.
Sebut saja masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dengan gender yang fleksibel. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Bugis sudah mengakui lima jenis gender: laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), lelaki-perempuan (calabai), perempuan-lelaki (calalai), dan pendeta androgini (bissu).