KABAR WONOSOBO― Pada bulan Oktober 1965, dua minggu selepas kegagalan kudeta Partai Komunis Indonesia yang lantas memunculkan rezim Seoharto, Pramoedya Ananta Toer ditangkap dalam rangka pembersihan kaum nasionalis kiri.
Permohonan penulis yang akrab disapa Pram agar perpustakaannya diselamatkan, tidak dihiraukan. Ia juga harus kehilangan buku-bukunya yang dibakar dan rumahnya pun turut disita.
Setelah ditahan di Pulau Nusakambangan, Pram kemudian dibawa ke Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik. Di Pulau Buru, Pram diasingkan tanpa pengadilan.
Baca Juga: Buku Irfan Afifi Saya, Jawa, dan Islam Terlahir Hasil dari Proses Lelaku Mengenali Diri dan Sejarah
Seoharto terbukti gagal membungkam Pram selama 14 tahun masa penahanan. Menjadi satu dari sekian tahanan politik di Pulau Buru, justru memberikan waktu kepada Pram untuk menyelesaikan tetralogi yang kini dikenal seluruh dunia dengan Tetralogi Buru dengan buku pembuka Bumi Manusia.
Pada awalnya, Bumi Manusia hanya Pram ceritakan secara lisan kepada sesama tahanan. Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca―dua buku terakhir ditulis setelah pelonggaran kebijakan dalam penjara― melengkapi Tetralogi Buru.
“Apakah mungkin, mengambil dari seorang pria atas haknya untuk berbicara pada diri sendiri?” ungkap Pram.