Ternyata ada Konsep 5 Gender di Masyarakat adat Sulawesi Selatan, Netizen Indonesia Harus Belajar Sejarah

- 19 April 2021, 21:17 WIB
Ritual Bissu Pangkep Sulawesi Selatan. dari tangkapan layar kanal youtube Jabatin Bangun
Ritual Bissu Pangkep Sulawesi Selatan. dari tangkapan layar kanal youtube Jabatin Bangun /youtube.com/ Jabatin Bangun

KABAR WONOSOBO ― Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan adanya trending tagar #indonesiasaysorrytothailand selepas kisruh yang dilakukan beberapa warganet di kolom komentar sebuah unggahan foto pernikahan pasangan gay asal Thailand.

Tak cukup mendapatkan komentar penghinaan, Suriya Koedsang, korban dari sikap kasar warganet Indonesia tersebut mengatakan bahwa ia dan juga mendapatkan ancaman pembunuhan.

Minimnya pengetahuan dan rasa intoleran warganet Indonesia terhadap anggota komunitas LGBTQI+ atau yang lebih dikenal sebagai istilah ‘homophobia’ tersebut disinyalir menjadi pokok permasalahan utama.

Baca Juga: Netizen Indonesia Makin Bar-bar, Unggahan Pasangan Gay Thailand Kena Ancaman Pembunuhan di Facebook

Masih sangat minim sekali persepsi yang dimengerti oleh warga, di Indonesia, khususnya mengenai keberagaman identitas gender.

Seperti yang dilansir oleh KabarWonosobo.com melalui sebuah jurnal yang dikeluarkan oleh United Nations Human Rights, identitas gender sendiri berbeda dengan jenis kelamin yang dimiliki setiap individu semenjak lahir.

Identitas gender mengacu pada setiap yang dirasakan oleh dirasakan oleh para individu, baik internal maupun eksternal, mengenai pengalaman dari gender masing-masing.

Baca Juga: Mengenal Komunitas GUSDURian Wonosobo, Upaya Abadikan Gagasan Gus Dur dan Ajak Kaum Muda Pahami Keberagaman

Di mana hal tersebut memungkinkan atau tidak memungkinan inidividu terkait untuk merasakan ‘tanda seksual’ yang telah mereka miliki setelah lahir.

Termasuk di dalamnya apa yang masing-masing personal rasakan mengenai tubuh dan ekspresi gender lainnya, seperti cara berpakaian, cara berbicara, dan cara bersikap.

Mayoritas orang Indonesia hanya percaya bahwa gender dan orientasi seksual setiap orang hanya ada dua, laki-laki dan perempuan, serta maskulin dan feminin. Tanpa melihat adanya orientasi dan jenis gender yang lain.

Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan

Heteroseksual dianggap sebagai orientasi seksual ‘normal’, sedangkan homoseksual dan biseksual tidak pernah diterima.

Karena itu, serangan terhadap komunitas LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, terjadi secara besar-besaran, terutama di media.

Menurut budaya, masyarakat Indonesia sendiri telah mengakui keberagaman seksual dan gender sebagai bagian dari hidup sehari-hari.

Baca Juga: Venus Williams Tulis Esai, Bicara Lantang tentang Kesetaraan Gender dan Kesetaraan Upah di Karir Olahraga

Negeri ini kaya akan sejarah tentang konsep pandangan terhadap gender lain, bahkan  homoseksual dan transgender. Kenyataan tersebut kontradiktif dengan adanya tanggapan bahwa ‘gender menyimpang’ tersebut dibawa oleh budaya Barat.

Saat ini, mayoritas masyarakat masih mengakui bahwa homoseksualitas dan transgender merupakan produk dari budaya Barat. Sementara di sisi lain, budaya Indonesia sendiri sudah ‘mengonsumsi’ perbedaan gender tersebut sebelum kolonialisme sampai.

Sebut saja masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dengan gender yang fleksibel. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Bugis sudah mengakui lima jenis gender: laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), lelaki-perempuan (calabai), perempuan-lelaki (calalai), dan pendeta androgini (bissu).

Baca Juga: Vatikan Menyatakan Bahwa Pendeta Tidak Boleh Memberkati Pernikahan Sesama Jenis

Masih di provinsi yang sama, masyarakat Toraja juga mengenai gender ketiga yang kerap disebut to burake tambolang.

Dikutip dari The Conversation, berdasarkan keterangan dari seorang antropologi, Hetty Nooy-Palm, masyarakat Toraja sendiri percaya bahwa pembimbing spiritual tertinggi mereka adalah seorang perempuan, atau burake tattiku, dan laki-laki yang berdandan seperti perempuan atau burake tambolang.

Di masa lalu, pemimpin spiritual transgender dari Toraja dan Bugis memerankan peran penting dalam komunitas.

Baca Juga: Pernyataan PM Pakistan Imran Khan Bikin Geram, Sebut Cara Berpakaian Wanita Jadi Penyebab Pemerkosaan

Bissu dan to burake memimpin upacara-upacara spiritual atau upacara adat di desa-desa. Masyarakat akan mengakui dan menghormati sebuah desa dengan seorang to burake.

Sayang sekali, budaya tersebut terpupus lantaran nilai-nilai modern dan pendidikan yang dibawa oleh kaum kolonial.

Melihat kembali ke belakang, sudah seharusnya masyarakat Indonesia lebih terbuka dengan adanya perbedaan orientasi seksual yang dimiliki masing-masing individu.

Baca Juga: Diskriminasi Pada Perempuan Diangkat di Novel Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982, Karangan Cho Nam Joo

Bukan hanya karena harus menghormati mereka yang sejatinya ‘berbeda’ tetapi turut pula berperan aktif dalam masyarakat yang menjunjung toleransi.***

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: theconversation.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah