Pramoedya Ananta Toer, Penulis Nasionalis yang Sengaja Dikubur Orde Baru, Kini Jadi Kiblat Penulis Muda

- 16 April 2021, 21:43 WIB
Foto Pramoedya Ananta Toer dari tangkapan layar laman  sastra.perpusnas.go.id
Foto Pramoedya Ananta Toer dari tangkapan layar laman sastra.perpusnas.go.id /sastra.perpusnas.go.id

Baca Juga: Sinopsis Novel Amba Karangan Laksmi Pamuntjak Sajikan Roman hingga Nilai Moralitas dan Sejarah Bangsa

Buku tersebut menceritakan perjuangan Indonesia yang melawan kolonialisme Belanda melalui Minke, seorang aristokrat Jawa yang bergabung dengan gerakan nasional.

Kebencian Soeharto pada Pram tercermin tidak hanya dengan menjebloskannya ke Pulau Buru, tetapi juga melarang peredaran Tetralogi Buru.

Penguasa yang akhirnya tumbang di tahun 1998 tersebut turut merekayasa pemecatan diplomat Australia, Max Lane, yang telah menerjemahkan dua bab pertama ke dalam bahasa Inggris.

Baca Juga: Menyelami Realitas Eka Kurniawan Lewat Kumpulan Cerpen Corat-coret di Toilet, 13 Kisah Penuh Simbol dan Kritik

Tumbangnya Seoharto membuat Pram dan Tetralogi Buru perlahan mulai terbebas dan bisa dibaca khalayak. Karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa, meskipun di Indonesia sendiri masih dilarang.

Pram lahir di Blora, Jawa Tengah. Putra pertama dari seorang kepala sekolah dan aktivis lokal. Nama terakhirnya sebenarnya adalah ‘Mastoer’, tetapi ia menghilangkan kata ‘Mas’ karena merupakan gelar terendah dari kalangan bangsawan Jawa. Sekaligus karena ‘Mas’ terdengar terlalu aristokrat.

Pram tidak menggantinya bahkan setelah 40 tahun kemudian dirinya tahu makna ‘Toer’ berarti ‘kotoran’ dalam bahasa Polandia.

Baca Juga: Sinopsis Laut Bercerita Karya Leila S Chudori, Kisah Pilu Biru Laut yang Rekam Masa Kelam Orba

Penulis ‘Gadis Pantai’ tersebut menamatkan Sekolah Kejuruan Radio pada tahun 1942 di Surabaya, ketika invasi Jepang.

Halaman:

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: theguardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah