Banyak insiden yang ditulis di atas kertas hasil seludupan pendeta Katolik yang simpatik padanya.
Kebanyakan dari tahanan, termasuk Pram, dipindahkan dari Pulau Buru pada 1979, tapi Pram hanya dibebaskan lantaran lobi dari banyak diplomat asing.
Ia bertahan di Jakarta sampai 1992 dan menolak meninggalkan Indonesia sampai Seoharto dilengserkan, karena takut akan diblokir untuk kembali.
Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan
Transisi Indonesia untuk mencapai demokrasi tidak mengurangi semangatnya untuk membela yang tertindas dan menghukum mereka yang berkuasa, atau yang sering disebut Pram sebagai ‘badut’.
Dalam beberapa tahun, pandangan Pram yang dinilai tak bisa dikompromi dan kontradiktif tidak disukai oleh beberapa sastrawan muda Indonesia.
Meskipun begitu, sebagian dari yang tidak setuju itu sering menyamakan Pram dengan sosok penulis Rusia yang bernasib sama dengan Pram, Alexandre Solzhenitsyn.
Pram mendapat banyak penghargaan dari institusi internasional. Meskipun sering dinominasikan, Pram belum pernah menerima penghargaan Nobel untuk sastra.