Seperti nasionalis Indonesia lainnya, Pram turut bekerja untuk Jepang yakni di kantor berita Jepang ‘Domei’.
Pram mantap menjadi nasionalis selepas Jepang berubah makin brutal dan keras. Selepas perang, bersamaan dengan Belanda yang berusaha kembali mengambil alih, Pram bergabung dengan gerakan perlawanan.
Baca Juga: Memaknai Cinta Tak Biasa lewat Kisah Asmara Raras dan Galih dalam Novel Ratih Kumala, Tabula Rasa
Ia ditahan pada tahun 1947. Di tahun yang sama, novel Perburuan ditulis.
Pembebasan terjadi pada 1949 dengan ditariknya Belanda. Pram menghabiskan tahun 1950-an untuk berkelana, pertama ke Belanda, lalu ke Uni Soviet kemudian ke China.
Hasilnya, Pram dinilai menjadi lebih ‘kiri’ dan terkesan ‘anti-Jawa’ dalam setiap tulisannya, termasuk di surat-surat kabar.
Baca Juga: Sisi Lain Manusia dan Kemanusiaan Dibedah Bagus Dwi Hananto dalam Novel Napas Mayat
Pram menjadi editor untuk bagian koran sayap-kiri dan mengajar jurnalistik di sekolah di Jakarta.
Pada 1960 ia terlibat berdebatan dengan pemerintahan Presiden Soekarno yang membuatnya dipenjara sembilan bulan lamanya. Menyusul lima tahun kemudian, kudeta lebih besar terjadi dan Pram kembali masuk bui.
Penderitaan Pram selama di Pulau Buru akhirnya terungkap dengan dibuatnya autobiografi Pram berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu atau ‘The Mute’s Soliloquy’ dalam bahasa Inggris pada 1999.