KABAR WONOSOBO – Nyatanya nasib pejuang kemerdekaan tidak selalu sama, seperti mendapatkan haknya seperti jaminan pensiun hingga pengakuan dari Negara secara langsung.
Kehidupan yang cukup berat dialami oleh pejuang perempuan bernama The Sin Nio, seorang keturunan Tionghoa asal Wonosobo yang turut bertempur melawan belanda. Sin Nio meninggal dunia dan dimakamkan di Jakarta pada tahun 1985 di usia 70 tahun.
Dikutip Kabar Wonosobo dari Majalah Sarinah yang terbit 6 Agustus 1984, Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, berikut fakta mengenai kehidupan Sin Nio yang patut diangkat sebagai sosok teladan dan perwujudan Kartini lewat jalan sunyi sebenarnya.
“Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!” sebuah kutipan dari Majalah Sarinah yang sangat menohok dan pengingat untuk generasi ini agar lebih menghargai pahlawan dan pejuangnya.
Di sisa usianya yang senja, Sin Nio menghabiskan sisa hidupnya bertahan hidup di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta.
Bahkan, setelah masa kemerdekaan dan kondisi negara aman, Sin Nio yang asli Wonosobo, sempat hidup terlantar ketika berjuang bertahan hidup di Jakarta.
Sin Nio memiliki enam anak dari dua orang suami, keduanya ikatan pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Sebagai janda dengan enam anak, hidup Sin Nio sangatlah berat, dan atas itu, tekad semakin bulat untuk pindah dari Wonosobo ke Jakarta pada tahun 1973.
Alasan lain ke Jakarta adalah karena pejuang perempuan Wonosobo itu tidak mendapatkan pensiun sebagai pejuang kemerdekaan.
Maka Sin Nio mantap berangkat ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya dan meskipun dinilai cukup jarang adanya pejuang Tionghoa, nyatanya ada sederet pejuang Tionghoa yang hingga kini tercatat sebagai pahlawan pejuang kemerdekaan.
Dalam catatan perjuangannya, Sin Nio ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.
Berada di bawah komando Sukarno yang terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Duta Besar RI untuk Aljazair. Di Resimen itu, Sin Nio adalah satu-satunya prajurit perempuan dalam kompi tersebut dan bersenjatakan golok, tombak, bahkan bambu runcing.
Baru setelah berhasil merampas senapan jenis LE dari pihak Belanda, Sin Nio memiliki senjata api.
Baca Juga: Wanita Berusia 106 Tahun ini Lalui Tidak Hanya Satu, tapi Dua Pandemi Selama Hidupnya
Sin Nio pernah dipindah ke bagian perawat palang merah karena banyak sekali pejuang terluka dan butuh perawatan medis.
Hidup sebagai janda dengan 6 anak di Wonosobo, hidupnya sangat berat, terlebih dalam usia yang senja.
Usai berangkat ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya pada 1973, Sin Nio sempat menumpang tinggal selama sembilan bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia, di Jalan Gajah Mada.
Baca Juga: Presiden Wanita Pertama Tanzania Samia Suluhu Hassan Gantikan John Magufuli yang Meninggal Dunia
Usai tinggal menumpang, lalu Sin Nio menggelandang di ibukota di usia 60 tahun harus kehujanandan kepanasan tanpa tempat tinggal layak.
Setelah perjuangan panjang, pada tanggal 29 Juli 1976, Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pengakuan itu tertuang di Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio yang dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta, ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs. Soehardjo.
Tetapi nahas, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiun untuk Sin Nio, sehingga dirinya harus bertahan sebagai gelandangan di seputaran pintu air dekat masjid Istiqlal Jakarta.
Baca Juga: Yustinus Prastowo: Indonesia Masih Punya Kemampuan untuk Bayar Hutang Luar Negeri
Akhirnya, beberapa tahun kemudian, uang pensiun sebesar Rp28.000 per bulan diperolehnya, namun tidak mencukupi kebutuhannya.
Terpaksa, Sin Nio tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA dan bersikeras enggan pulang lagi ke Wonosobo.
Namun Sin Nio tak pernah lupa mengirimkan uang kepada anak cucunya di Wonosobo.
Dalam sebuah petikan di Majalah Sarinah (1984) Sin Nio menyebut lebih memilih hidup sendiri di Jakarta.
“Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dalam tempat seperti ini!” tutur pejuang Wanita itu.
Selain itu, Sin Nio pernah dijanjikan sebuah rumah di Perumnas dari Menteri Perumahan di masa itu, Cosmas Batubara, namun diduga tidak dipenuhi hingga akhir hayatnya.***