Sisi Gelap di Balik Eksploitasi Besar-Besaran Penambangan Timah di Bangka Belitung, Ikan Semakin Langka

- 11 Juni 2021, 07:52 WIB
Danau Kulong Biru, Koba, Bangka Belitung yang terbentuk akibat ekploitasi timah di darat
Danau Kulong Biru, Koba, Bangka Belitung yang terbentuk akibat ekploitasi timah di darat /aljazeera.com

KABAR WONOSOBO – Salah seorang penambang timah dari Pulau Bangka bernama Hendra (51) hari-harinya pergi ke pantai lepas menggunakan armada ponton untuk mendapat bijih timah.

Dilansir Kabar Wonosobo.com dari Al Jazeera, Indonesia merupakan negara pengekspor timah terbesar di dunia.

Manfaat dari timah ini sendiri digunakan dalam berbagai hal mulai dari kemasan makanan hingga elektronik dan sekarang digunakan juga dalam teknologi.

 Baca Juga: Ditemukan Fosil Hiu Godzilla di Galian Tambang New Mexico Amerika, Sekarang Punya Nama Resmi ini

Pertambangan Bangka Belitung wilayah darat telah dieksploitasi secara besar-besaran dan meninggalkan lanskap seperti danau-danau yang sangat luas.

Alih-alih melakukan penanggulangan di wilayah yang telah terbentuk danau-danau akibat pertambangan tersebut, kini masyarakatnya justru beralih ke wilayah laut.

“Di darat pendapatan kami berkurang. Tidak ada lagi cadangan,” kata Hendra.

 Baca Juga: Intip Program Kawasan 5 Dieng Baru, hingga Rencana Bangun Miniatur Budaya 5 Benua di Eks Tambang Galian C

Hendra mengoperasikan enam ponton setiap harinya dengan pipa-pipa yang panjangnya bisa lebih dari 20 meter untuk menyedot pasir dari dasar laut.

Satu ponton milik Hendra masing-masing memiliki awak kapal tiga hingga empat orang untuk mengoperasikannya.

Hendra mengatakan jika satu ponton biasanya menghasilkan sekitar 50 kg timah setiap harinya.

 Baca Juga: Paska Kebakaran Refinery Balongan, Pertamina Tanggapi Hoax Kelangkaan Bahan Bakar, Jangan Ada Panic Buying

Hendara sendiri termasuk di antara puluhan penambang yang bermitra dengan PT Timah untuk mengekploitasi konsesi penambang negara.

Para penambang mendapatkan upah $4,90 hingga $5,60 atau sekitar Rp 70.000 hingga Rp 80.000 setiap kilogram pasirnya.

Sebuah perusahaan menunjukkan jika eksploitasi timah di wilayah laut ini sangat besar sekitar 265.913 ton per tahun dibandingkan dengan wilayah daratan sekitar 16.399 ton per tahunnya.

 Baca Juga: Protes Pembuangan Air Limbah Nuklir ke Laut, Mahasiswa Korea Selatan Gunduli Kepala di Depan Kedubes Jepang

Adanya ekspansi besar-besaran ini, telah meningkatkan ketegangan dengan para nelayan sekitar yang mengatakan jika penangkapan ikan semakin sulit.

Salah satu nelayan bernama Apriadi Anwar (45) mengatakan, jaring ikan seringkali tersangkut di peralatan pertambangan.

“Ikan semakin langka karena karang tempat mereka bertelur sekarang tertutup lumpur hasil penambangan,” kata Anwar.

 Baca Juga: Seniman ini Menyatakan Perang pada Limbah Plastik lewat Lukisan Berbahan dasar Sampah

Sulitnya menangkap ikan di laut lepas ini berdampak juga pada perekonomian Anwar, dulu penghasilan keluarganya cukup untuk membiayai dua adiknya untuk kuliah.

“Jangankan kuliah, sekarang untuk membeli makanan saja susah,” keluh Anwar yang tinggal di Desa Batu Perahu, Bangka Selatan.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah berkampanye untuk menghentikan penambangan di laut terutama di pantai barat Bangka karena tumbuhan bakau relait terpelihara dengan baik di wilayah tersebut.

 

Editor: Erwin Abdillah

Sumber: Aljazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x