Namun, penulis tepat sekali dengan mengubah ‘romansa khas dua sejoli ibu kota’ tersebut menjadi ‘romansa yang memang lumrah ditemui oleh banyak orang’.
Sabda dan Kana adalah bagian dari ‘banyak orang’ tersebut. Mereka memiliki konflik pelik terkait latar belakang, tujuan hidup, dan bahkan prinsip yang dianut.
Satu persamaan mereka: sama-sama senang mengoreksi gaya berbahasa orang-orang di sekitarnya. Menghidupkan bahasa Indonesia yang telah lama disalahartikan bahkan oleh pemakainya sendiri.
Sabda dan Kana adalah gambaran realistis dari kisah cinta yang lumrah dialami oleh orang-orang seumuran mereka. Usia 20-an yang memang sedang menjadi puncak petualangan hidup manusia dengan berbagai hal.
Baca Juga: Sisi Lain Manusia dan Kemanusiaan Dibedah Bagus Dwi Hananto dalam Novel Napas Mayat
Belajar bahasa Indonesia dengan cara ‘asyik’
Sudah disinggung di atas, bahwa Sabda dan Kana gemar mengoreksi bahasa yang digunakan oleh karakter lain. Kita, Kata, dan Cinta juga dapat dibilang sebagai buku panduan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Melalui Sabda dan Kana, sekaligus kisah mereka dengan orang tua Kana, teman satu kontrakan Sabda, anggota organisasi yang mereka ikuti, bahkan para pendemo di sekitar rel kereta api, Sabda dan Kana seperti ‘polisi bahasa’ yang membenarkan cara berbahasa mereka.
Buku ini secara menyenangkan mengulas bagaimana penggunaan ejaan, kata baku, awalan, akhiran, imbuhan, dan segala dasar berbahasa yang seringkali diabaikan oleh banyak orang.