Ini Lima Sastrawan Perempuan Berpengaruh, dari Dee Lestari hingga Leila S. Chudori

21 April 2021, 19:28 WIB
Dee Lestari dan Laksmi Pamuntjak dalam sebuah frame yang diambil dari akun instagram Dee Lestari @deelestari /instagram.com/ @deelestari

 

 

KABAR WONOSOBO― Sastrawan perempuan Indonesia tidak hanya dikenal akan peran mereka dalam mewarnai khasanah sastra negeri ini.

Indonesia sendiri kekurangan sastrawan perempuan yang namanya turut dijejerkan dengan penggiat sastra kelas kakap seperti Eka Kurniawan, Joko Pinurbo, Andrea Hirata, dan sebagainya.

Berikut lima sastrawan perempuan Indonesia di bawah ini memiliki keunikan sendiri dengan karya-karya mereka yang mendunia. Mulai dari politik, sosial, sejarah, serta perempuan dan seks.

Baca Juga: Perjalanan Sarat Wewangian Jati Wesi dan Tanaya Suma dalam Sinopsis Novel Aroma Karsa, Karya Dewi Lestari

Dee Lestari

Pertama kali dikenal sebagai seorang penyanyi, penulis bernama lengkap Dewi Lestari ini sudah memiliki banyak karya fenomenal di kalangan penggemar, maupun pembaca pada umumnya.

Debut dengan Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh pada tahun 2001, perjalan Dee menjadi sastrawan perempuan yang patut diperhitungkan akhirnya dimulai.

Serial Supernova sendiri berisi 6 buku, yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan Intelegensi Embun Pagi.

Dee dikenal sebagai penulis yang mendobrak beberapa pembahasan ‘taklumrah’ di Indonesia. Seperti masalah orientasi seksual, ketuhanan, dan permasalahan krusial manusia yang sering dianggap ‘tabu’ oleh sebagian besar orang.

Baca Juga: Menyelami Realitas Eka Kurniawan Lewat Kumpulan Cerpen Corat-coret di Toilet, 13 Kisah Penuh Simbol dan Kritik

Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh sendiri hadir di tengah-tengah masyarakat yang belum terlalu membuka diri akan perbedaan yang dibawa oleh dua karakternya, yaitu Reuben dan Dimas.

Tak jauh berbeda dengan keyakinan Zarah serta Firas dalam Partikel mengenai arti Tuhan dan ketuhanan yang mendobrak tabu.

Dee juga menghadirkan teori-teori ilmiah melalui serial Supernova, ia dikenal sebagai ‘seorang esais yang menjelaskan penelitiannya melalui sastra’.

Baca Juga: Bicara Femisnisme Lewat Buku, Kalis Mardiasih Mendebat Hubungan Jilbab dan Kesalihan Perempuan

Tak hanya itu, Dee memiliki ‘bahasa sendiri’ yang ia gunakan untuk menulis alur masing-masing karakter di buku-buku yang ia tulis.

Saat ini, Dee sudah menulis beberapa buku, seperti 6 buku dari serial Supernova, Perahu Kertas, Filosofi Kopi, Rectoverso, Madre, Aroma Karsa, Di Balik Tirai Aroma Karsa, Rantai Tak Putus, Keping-Keping Supernova, dan yang terbaru adalah Rapijali.

Okky Madasari

Dikenal dalam perlawanannya atas ketidakadilan ‘wong cilik’ Okky Madasari menjadi satu dari sekian sastrawan perempuan yang patut diperhitungkan saat ini.

Baca Juga: Sisi Lain Manusia dan Kemanusiaan Dibedah Bagus Dwi Hananto dalam Novel Napas Mayat

Kiprah penulis asal Magetan, Jawa Timur tersebut dimulai sejak tahun 2009 setelah terlebih dahulu bekerja sebagai seorang jurnalis.

Ketajaman kalimat, konflik sosial yang sering dijadikan tema utama, hingga politik dan agama  di Indonesia menjadi kekuatan karya-karya Okky Madasari.

Entrok, karya pertama Okky, terbit pada tahun 2010 dengan sebuah cerita di era Orde Baru. Karya tersebut diterbitkan dalam versi bahasa Inggris ‘The Years of the Voiceless’ pada tahun 2013.

Okky juga mengangkat tentang korupsi di tengah kehidupan sosial di Indonesia melalui novel ‘86’ yang terbit pada 2011.

Baca Juga: Sinopsis Novel Amba Karangan Laksmi Pamuntjak Sajikan Roman hingga Nilai Moralitas dan Sejarah Bangsa

Kemudian berturut-turut pada tahun 2012 dan 2013, dua novelnya yaitu ‘Maryam’ dan ‘Pasung Jiwa’ resmi dirilis.

Maryam berfokus menceritakan antara ‘gap’ yang terjadi antarpemeluk agama. Sementara Pasung Jiwa bercerita mengenai transgender dalam masyarakat.

Pasung Jiwa telah diterjemahkan dalam bahasa Jerman ‘Gebunden’ pada tahun 2015, dan di tahun 2019 dalam versi bahasa Arab di Mesir.

‘Kerumunan Terakhir’ adalah karya Okky di tahun 2016 yang membahas tentang pengaruh media sosial terhadap anak-anak muda di Indonesia. Telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, The Last Crowd.

Baca Juga: Sinopsis Laut Bercerita Karya Leila S Chudori, Kisah Pilu Biru Laut yang Rekam Masa Kelam Orba

Pada tahun 2017, Okky Madasari menerbitan antologi cerita pendek pertamanya yaitu ‘Yang Bertahan dan Binasa Perlahan’. Ia juga menerbitkan serial novel anak-anak, Mata, yang terinspirasi oleh sang putri.

Laksmi Pamuntjak

Terkenal dengan karyanya yang berjudul Amba, Laksmi Pamuntjak telah terlebih dahulu mendunia dengan sederet prestasi.

Salah satu pendiri Toko Buku Aksara dan pernah menjadi juri Price Clause Awards yang berbasis di Amsterdam ini gemar mengangkap cerita tentang isu-isu perempuan.

Seperti melalui buku ‘Aruna dan Lidahnya’ yang berfokus pada kehidupan Aruna dan ketajaman lidahnya menilai makanan. Juga ada novel ‘Amba’ yang bercerita mengenai kisah tentang perempuan bernama Amba dan kekasihnya bernama Bhisma Rashad bersetting kerusuhan politik tahun 1965.

Baca Juga: Diskriminasi Pada Perempuan Diangkat di Novel Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982, Karangan Cho Nam Joo

Laksmi Pamuntjak juga merupakan seorang penyair dan jurnalis. Namanya pernah dicatat sebagai salah seorang kontributor untuk The Guardian.

Sejauh ini, Laksmi Pamuntjak sudah menerbitkan dua himpunan puisi yaitu ‘Elipsis’ dan ‘The Anagram’, sebuah telaah filosofi The Iliad yang kemudian dibukukan dengan judul ‘Perang, Langit dan Dua Perempuan’, kumpulan fiksi pendek ‘The Diary of R.S.: Musings on Art’, empat seri panduan makanan independen ‘The Jakarta Good Food Guide’, dan sejumlah novel.

Selain ‘Aruna dan Lidahnya’ dan ‘Amba’, Laksmi juga telah menerbitkan novel ‘Fall Baby’ atau ‘Kekasih Musim Gugur’ untuk edisi Indonesia.

Baru-baru ini, kumpulan cerita pendeknya ‘Kitab Kawin’ juga sudah diterbitkan oleh Gramedia.

 Baca Juga: Ayu Utami Bedah Sisi Kelam Manusia dengan Lugas Lewat Dwilogi Novel Saman dan Larung

Ayu Utami

Dinobatkan sebagai pionir sastra wangi di Indonesia melalui karya fenomenalnya ‘Saman, Ayu Utami kian bersinar di kalangan sastrawan. Terutama sastrawan perempuan.

Ayu Utami memiliki ciri khas yang kentara untuk setiap karya yang ia tulis. Lugas, berani, dan sering kali menyentil pembaca. Terutama dalam hal prinsip, pengakuan akan Tuhan, serta pengakuan akan tubuh.

Karya-karya yang telah ia terbitkan, diakui Ayu Utami, merupakan sebuah kisah personal-partikular dan perenungan filosofis-universal, baik dengan latar sejarah maupun fantasi.

Topik-topik yang dibawa oleh Ayu Utami melalui karya yang ia ciptakan tidak hanya mengundang decak kagum para penggiat literasi lokal. Namanya tercatat pernah menerima penghargaan dalam dan luar negeri.

Baca Juga: Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala, Kisahkan Perjalanan Mengupas Rahasia Miliarder Industri Rokok Kretek

Selain dwilogi ‘Saman - Larung’ yang menjadi perbincangan banyak orang karena keberaniannya untuk mendobrak tabu, Ayu Utami juga menerbitkan karya fenomenal lain yang diburu di pasaran.

Seperti serial ‘Bilangan Fu’ yang kemudian diikuti oleh ‘Manjali dan Cakrabirawa’, ‘Lalita’, dan ‘Maya’.

Kemudian ‘Seri Spiritual Kritis’ termasuk ‘Simple Miracles’ dan ‘Anatomi Rasa’. Lalu ada trilogi otobiografi yaitu ‘Si Parasit Lajang’, ‘Cerita Cinta Enrico’, dan ‘Pengakuan Eks Parasit Lajang’.

Serta ada kumpulan ‘Seri Zodiak’ dan ‘Panduan Menulis dan Berpikir Kreatif’.

 Baca Juga: VOC Berdiri 20 Maret 1602, Perusahaan Multinasional Pertama di Dunia yang Bangkrut dengan Utang 137 Gulden

Leila S. Chudori

Jurnalis dan penulis Leila S Chudori memang belum kembali mengeluarkan buku baru belakangan ini. Namun, karya-karyanya yang terdahulu pun masih menjadi incaran banyak pembaca di pasaran.

Seperti novel ‘Laut Bercerita’ yang mengisahkan tentang hilangnya para aktivis di masa Soeharto yang sampai sekarang belum diketahui kabarnya.

‘Laut Bercerita’ sendiri seperti dianggap sebagai ‘bacaan wajib’ bagi mereka para penggemar jurnalis Tempo tersebut, dan juga bagi para pembaca pada umumnya.

Tak berbeda dari empat penulis di atas, Leila Chudori juga membawa isu-isu krusial yang mungkin untuk beberapa penulis lain enggan untuk dibahas. Seperti ‘Laut Bercerita’ yang tidak hanya menyajikan para pejuang Reformasi 1998, tapi juga mengenai pertanyaan tentang cinta tanah air, bersosialisasi, dan romansa.

Baca Juga: Pahlawan Perempuan Asal Wonosobo The Sin Nio, Pejuang Bersenjata Bambu Runcing, Sosok Kartini Sebenarnya

Atau seperti kumpulan cerpen ‘9 Dari Nadira’ yang menghadirkan cerita dari tokoh perempuan.

Keistimewaan Leila Chudori, beliau selalu menciptakan tokoh perempuan tangguh di tiap tulisan. Juga membuat karakter tersebut memerankan peran penting untuk menggerakkan plot.

Seolah tengah menyingkirkan asumsi bahwa perempuan hanya bagian dari ‘karakter marginal’ yang hanya menjadi hiasan atau pendamping karakter utama laki-laki.

Seperti Kasih Kinanti dan Asmara Jati dalam novel ‘Laut Bercerita’. Juga ada sosok Nadira dalam ‘9 Dari Nadira’.

Baca Juga: Sinopsis Film Futuristik Chaos Walking Bertabur Bintang, Tom Holland, Daisy Ridley hingga Mads Mikkelsen

Selain itu ‘Laut Bercerita’ dam ‘9 Dari Nadira’, beliau juga merupakan penulis novel ‘Pulang’ yang kembali menghadirkan sejarah-politik di Indonesia, serta kumpulan cerpen ‘Malam Terakhir’.*** 

Editor: Erwin Abdillah

Tags

Terkini

Terpopuler